Argue

Kamis, 29 Mei 2014

KEPEMIMPINAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA

Pendahuluan
            Manusia di dalam kehidupannya harus berkomunikasi, artinya memerlukan orang lain dan membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal ini merupakan suatu hakekat bahwa sebagian besar pribadi manusia terbentuk dari hasil integrasi sosial dengan sesama dalam kelompok dan masyarakat. Di dalam kelompok/organisasi itu selalu terdapat bentuk kepemimpinan yang merupakan masalah penting untuk kelangsungan hidup kelompok, yang terdiri dari pemimpin dan bawahan/karyawan. Di antara kedua belah pihak harus ada two-way-communications atau komunikasi dua arah atau komunikasi timbal balik, untuk itu diperlukan adanya kerja sama yang diharapkan untuk mencapai cita-cita, baik cita-cita pribadi, maupun kelompok, untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Kerja sama tersebut terdiri dari berbagai maksud yang meliputi hubungan sosial/kebudayaan. Hubungan yang terjadi merupakan suatu proses adanya suatu keinginan masing-masing individu, untuk memperoleh suatu hasil yang nyata dan dapat memberikan manfaat untuk kehidupan yang berkelanjutan.
Hubungan yang dilakukan oleh unsur pimpinan antara lain kelangsungan hidup berorganisasi untuk mencapai perkembangan ke arah yang lebih baik dengan menciptakan hubungan kerja sama dengan bawahannya. Hubungan yang dilakukan oleh bawahan sudah tentu mengandung maksud untuk mendapatkan simpati dari pimpinan yang merupakan motivasi untuk meningkatkan prestasi kerja ke arah yang lebih baik. Hal ini tergantung dari kebutuhan dan cara masing-masing individu, karena satu sama lain erat hubungannya dengan keahlian dan tugas-tugas yang harus dilaksanakan.
Bila sasaran komunikasi dapat diterapkan dalam suatu organisasi baik organisasi pemerintah, organisasi kemasyarakatan, maupun organisasi perusahaan, maka sasaran yang dituju pun akan beraneka ragam, tapi tujuan utamanya tentulah untuk mempersatukan individu-individu yang tergabung dalam organisasi tersebut.
Siapa yang menguasai media massa (informasi) maka ia menguasai dunia. Pernyataan tersebut kerap kali dilontarkan kalangan masyarakat khususnya bagi kalangan yang berkecimpung di dunia informasi, komunikasi dan media. Hal itu mengingat media massa merupakan sesuatu yang patut diperhitungkan mengingat perannya sangat penting bagi suatu arah dan kebijakan pembangunan bangsa serta eksistensi suatu kepemimpinan. 
Selain itu, peran media massa juga memiliki dua sisi strategis bagi siapa yang mengarahkan dan menggunakannya. Sebab dengan media seseorang bisa mengubah hal yang benar menjadi salah, dan hal yang salah menjadi benar. Lewat media massa suatu kepemimpinan yang dinilai kurang maksimal kinerja dan keberpihakannya terhadap masyarakat, bisa ‘dipoles’ menjadi positif atau ke arah yang lebih baik. 
Makalah sederhana ini dibuat dengan mengulas tiga hal pokok yang telah dikemukan di atas yakni kepemimpinan, komunikasi dan media massa.

I.         KEPEMIMPINAN
1.    Kepemimpinan: Apa itu?
Ambar Teguh Sulistiyani (2008: 11) berpendapat bahwa untuk memahami kepemimpinan perlu dikupas dari sisi etimologis dan defenitif. Aspek etimologis lebih mengedepankan permasalahan dari tinjauan bahasa, sedangkan aspek defenitif berpijak pada seperangkat pengertian yang dikemukakan oleh para ahli. Bertolak pada pemahaman defenisi kepemimpinan tersebut akan diperoleh variasi pendapat tentang apa yang dimaksud dengan kepemimpinan. Banyaknya ahli yang memperhatikan kepemimpinan, menyumbangkan defenisi yang demikian beragam dan mencakup rentang pengertian yang lebar.
Dari aspek etimologis leadership dapat ditelusuri maknanya dengan mengupas secara harafiah. Pemaknaan secara harafiah lebih cenderung menelusuri asal muasal kata pembentuk konsep tersebut. Adapun dilihat secara harafiah ini, kepemimpinan dapat dipahami sebagai:
1)        Kepemimpinan diadopsi dari bahasa Inggris yaitu leadership, yang berasal dari akar kata to lead yaitu berupa kata kerja yang berarti memimpin.
2)        Lebih lanjut kepemimpinan tersebut dapat dipahami dengan to show the way to by going in advance.
3)        Betolak dari pengertian secara harafiah tersebut di atas dengan demikian pemimpin merupakan suatu pekerjaan seseorang tentang bagaimana cara-cara untuk mengarahkan (direct) orang lain.
Pemaknaan lain terkait dengan pengertian harafiah dapat dikupas dari aspek subyek atau pihak yang menjadi pelaku dalam kepemimpinan. Sisi lain yang perlu dipahami selain materi pekerjaannya, ada sudut pandang lain juga perlu diketengahkan tentang person/individu yang menjalankan kepemimpinan. Adapun pemaknaan secara terperinci sebagai berikut:
1)        Artinya kepemimpinan juga harus dipahami dari sisi pelaku kepemimpinan yang disebut dengan istilah leader (pemimpin) yaitu orang yang melakukan aktivitas atu kegiatan untuk memimpin.
2)        Pemimpin merupakan orang yang menjalankan kepemimpinan atau dapat dimengerti sebagai a person who leads other a long way guidance.
Dari pengertian ini jelaslah bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang memimpin orang lain dengan cara memberikan petunjuk, atau dengan dimaknai secara lebih formal, bahwa dalam menjalankan kepemimpinan seseorang tersebut menjalankan perintah. Dengan pengertian ini maka kreasi-kreasi dan inovasi-inovasi pemimpin sebagai subyek yang menjalankan peran untuk memimpin tersebut sangat penting.
Selain defenisi secara etimologis dan harafiah yang telah dikemukakan di atas, dapat diketengahkan juga defenisi kepemimpinan menurut beberapa ahli, diantaranya (Winardi, 2000: 45-46):
1)        Joseph L. Massie/John Douglas: “... leadership occurs when one person induces others to work toward some predetermined objective
2)        Harold Koontx dan Cyril O’Donnel: “... it (leadership) may be defined as the ability to exert interpersonal influence, by means of communication, toward the achievment of a goal.
3)        G. R. Terry: “... leadership is the relationship in which one person, or the leader, influenceother to work together willingly on related tasks to attain that which the leader desires

2.    Teori Lahirnya Pemimpin
A.       Sudut Pandang tentang Munculnya Pemimpin
Perdebatan tentang kelahiran pemimpin sering menyeruak diantar para ahli yang menekuni subyek ini. Namun akhirnya perdebatan tersebut bermuara pada suatu kesimpulan bahwa di satu sisi pemimpin dapat dilahirkan dan disisi lainnya pemimpin dapat dibentuk. Dalam praktek sangat nyata bahwa dua simpulan ini benar, karena ada praktek dalam sistem regenerasi kepemimpinan yang diatur secara silsilah kedinastian yang jika dirunut dari awal munculnya sistem pemerintahan di suatu wilayah berasal dari satu keturunan tersebut, dan hal tersebut berlangsung secara terus menerus.
Sedangkan dalam praktek yang berbeda, kepemimpinan berlangsung melaui peralihan yang sangat dinamis, bahkan diwarnai oleh intrik-intrik politik berbagai kubu. Proses ini menunjukkan bahwa siapa saja yang memenuhi persyaratan dapat mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin. Proses pengangkatannya juga melaui pemilihan umum atau terbatas yang berlansung secara terbuka. Persitiwa ini dapat dimaknai bahwa munculnya kepemimpinan bukan karena ikatan darah kebangsawanan, melainkan melalui sebuah proses pembentukan yang berlangsung lama.

B.       Teori Lahirnya Pemimpin
Pemahaman tentang teori lahirnya pemimpin sebagai bagian yang dapat dikembangkan untuk mengenali praktek penyelenggaraan kepemimpinan yang sering beraneka ragam. Pisau analisis dapat semakin tajam ketika seseorang melakukan pengamatan baik proses pergantian, regenerasi ataupun kegiatan operasional terkait dengan kepemimpinan. Pemahaman terhadap teori-teori tersebut diharapkan mampu mengasa sensitivitas pembelajar untuk mengidentifikasi asal-usul kepemimpinan (Ambar Teguh Sulistiyani, 2008: 52).
Kartini Kartono, seperti dikutip Ambar Teguh Sulistiyani (2008) mengatakan bahwa dilihat dari sebab musabab munculnya pemimpin, ada tiga teori yang menonjol dalam menjelaskan kemunculan pemimpin, yaitu: teori genetis, teori sosial (sebagai lawan dari teori genetis) dan teori ekologis atau sintesis (yang muncul sebagai reaksi dari kedua teori tersebut). Menurut Ambar Teguh Sulistiyani (2008: 53), istilah lain yang dipergunakan untuk menyebut teori-teori tersebut adalah hereditary theory, social theory, dan situational theory. Ketiga teori ini menjadi landasan teoritis untuk memberikan klasifikasi asal-usul kepemimpinan. Adapun secara jelas teori-teori lahirnya pemimpin tersebut dapat dkemukakan dalam tiga kategori:
1.        Hereditary Theory
Hereditary theory atau teori keturunan merupakan pandangan yang membenarkan bahwa pemimpin itu dilahirkan. Dengan demikian sejalan dengan pandangan pertama bahwa seorang pemimpin itu hanya berasal dari kalangan tertentu, dan telah membawa sifat-sifat pemimpin sejak lahir. Sifat dari teori ini adalah deterministik dan fatalistik.
Contoh dari teori ini adalah sistem pemerintahan dinasti dan kerajaan. Karena itu teori ini disebut juga dengan teori orang besar. Bahwa orang besar sebagai seorang pemimpin itu dilahirkan dari kalangan pemimpin pula. Keyakinan teori ini mengantarkan pada suatu dogma bahwa hak dan wewenang memimpin itu hanya dimiliki oleh suatu kalangan tertentu atau keturunan dinasti tertentu. Keluarga lain diluar dinasti tersebut tidak berhak untuk menjadi pemimpin.
Sistem kepemimpinan serta regenerasi kepemimpinan berlangsung secara sakral dan penuh dengan pemujaan-pemujaan terhadap pemimpin yang dianggap sebagai orang besar. Sistem budaya lokal sebagai basis kepemimpinan dalam teori ini senantiasa melingkupi seluruh kehidupan dan kepemimpinan. Upacara dan ritual yang diselenggarakan selalu menjadi bagian yang penting dalam kepemimpinan, dengan tujuan memberikan kesan “perkasa” dan “agung” atas jati diri pemimpin.
2.        Social Theory
Social theory merupakan teori yang sejalan dengan pandangan kedua, bahwa seorang pemimpin itu menjadi pemimpin melalui pembentukan dengan proses tertentu. Biasanya dalam hal ini ditempuh melaui pendidikan formal, atau non formal yang dapat membantu seseorang untuk membentuk kemampuan sebagai pemimpin. Dari proses inilah seseorang menjadi mempunyai kemampuan yang diperlukan untuk menjadi pemimpin.
Masyarakat sebagai sebuah lingkungan sosial ikut membentuk dan memotori terbentuknya pemimpin. Seseorang dapat tumbuh menjadi pemimpin dengan melaui kreativitas dan kontribusi yang diberikan oleh lingkungan sosial secara simultan. Dimana seseorang dibesarkan dalam sebuah lingkungan yang kondusif, dengan rangsangan-rangsangan kelompok berupa kerja bersama, memecahkan masalah bersama, diskusi, berjuang dan bermain bersama, dan motifasi yang diberikan maka dapat mempermudah seseorang tersebut tumbuh menjadi pemimpin. Suatu lingkungan sosial yang memberikan keleluasaan anak untuk selalu mencari tahu, memperlakukan benda-benda sebagai eksperimen, mengeksplorasi lingkungan alam dsb, telah memberikan peluang sosial untuk anak berkembang dengan kepeloporan sesuai dengan pilihannya.
Pada situasi lain, suatu masyarakat yang selalu protektif dan penuh dengan larangan terhadap anak-anaknya, sehingga anak terkungkung dalam sebuah kotak mewah dengan segala fasilitas, maka anak dibatasi dalam perkembangannya. Seolah-olah mereka hanya dapat berkembang dengan pilihan yang telah dibatasi oleh orang tuanya. Mungkin saja anak dapat mencapai prestasi, tetapi sesungguhnya prestasi yang dicapai tidak mampu menjawab tuntutan intuitif anak tersebut dengan memuaskan. Dengan demikian potensi kepemimpinan kurang dapat dikembangkan secara optimal.
Pendidikan menjadi sesuatu yang sangat menarik dalam mengantarkan keberhasilan seseorang untuk tumbuh menjadi pemimpin. Pendidkan yang dimaksud adalah pendidikan formal dan nonformal. Makna pendidikan sesungguhnya bukan sekedar memberikan pencerahan dalam bidang pengetahuan, mendidik sebenarnya lebih dari sekedar itu. Pendidikan berkisar pada proses menuju pribadi yang matang (mature). Untuk itu pendidikan untuk mengantar pada pembentukan pemimpin hendaknya dilakukan bukan sekedar transfer pengetahuan, namun juga transfer nilai (value). Dengan demikian pendidikian membuahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan disertai kematangan diri, ditandai oleh penerapan nilai-nilai yang baik dalam sistem tata laku.
3.        Situational Theory
Situational theory disebut juga dengan enviroment theory atau teori lingkungan. Berbeda dengan dua teori di atas, teori ini didasarkan pada munculnya seorang pemimpin yang diilhami oleh kondisi tertentu. Suatu situasi tertentu yang memungkinkan seseorang muncul sebagai tokoh yang mampu mengkoordinir pengikut. Pemimpin demikian muncul karena driving force yang bersifat situasional. Biasanya pemimpin ini sangat kondisional dengan keadaan yang dihadapi, artinya tokoh yang muncul sebagai pemimpin disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan situasi pada waktu itu.
Sebagai contoh, misalnya pada situasi yang sangat kacau, tersulut oleh keadaan ini maka kemudian akan muncul seseorang yang mampu meredakan kekacauan. Kemunculan seseorang yang mampu memfasilitasi keadaan ini dapat bertolak dari inisiatif sendiri atau karena dipilih oleh orang-orang disekitarnya. Tetapi secara umum orang yang muncul sebagai pemimpin karena lingkungan atau situasi tersebut, pada hakikatnya memang memiliki kemampuan untuk memimpim.

4.    Pendekatan Teori Kepemimpinan
Dalam upaya melaksanakan kepemimpinan yang efektif, selain memiliki kemampuan dan keterampilan dalam kepemimpinan, seorang pemimpin sebaiknya menentukan gaya kepemimpinan yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi anggota kelompok. Banyak studi ilmiah yang dilakukan oleh banyak ahli mengenai kepemimpinan, dan hasilnya berupa teori-teori tentang kepemimpinan. Sehingga teori-teori yang muncul menunjukkan perbedaan.
Menurut Kartini Kartono (1994:61) perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dalam; pendapat dan uraiannya, metodologinya, intepretasi yang diberikan dan kesimpulan yang ditarik. Menurut M. Thoha (1994:250) mengungkapkan beberapa teori kepemimpinan yaitu:
a.         Teori Sifat ( Trait Theory)
Pada pendekatan teori sifat, analisa ilmiah tentang kepemimpinan dimulai dengan memusatkan perhatiannya pada pemimpin itu sendiri. Yaitu apakah sifat-siftat yang membuat seseorang itu sebagai pemimpin. Dalam teori sifat, penekanan lebih pada sifat-sifat umum yang dimilki pemimpin, yaitu sifat-sifat yang dibawa sejak lahir. Teori ini mendapat kritikan dari aliran perilaku yang menyatakan bahwa pemimpin dapat dicapai lewat pendidikan dan pengalaman. Sehubungan dengan hal tersebut , Keith Davis (dalam Kartini Kartono, 1994:251) merumuskan empat sifat umum yang nampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan efektifitas kepemimpinan yaitu:
1)        Kecerdasan, hasil penelitian pada umunya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin.
2)        Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas-aktivitas sosial. Dia mempunyai keinginan menghargai dan dihargai.
3)        Motivasi diri dan dorongan berprestasi, para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka bekerja berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsik dibandingkan dengan ekstrinsik.
4)        Sikap dan hub ungan kemanusiaan, pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kekuatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya.
b.         Teori Situasional dan Model Kontingensi.
Dalam model kontingensi memfokuskan pentingnya situasi dalam menetapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Sehingga model tersebut berdasarkan kepada situasi untuk efektifitas kepemimpinan. Menurut Fread Fiedler, kepemimpinan yang berhasil bergantung kepada penerapan gaya kepemimpinan terhadap situasi tertentu. Sehingga suatu gaya kepemimpinan akan efektif pabila gaya kepemimpinan tersebut digunakan dalam situasi yang tepat. Sehubungan dengan hal tersebut Fiedler (dalam Abi Sujak, 1990:10) mengelompokkan gaya kepemimpinan sebagai berikut:
1)        Gaya kepemipinan yang berorientasi pada orang (hubungan). Dalam gaya ini pemimpin akan mendapatkan kepuasan apabila terjadi hubungan yang mapan diantara sesama anggota kelompok dalam suatu pekerjaan. Pemimpin menekankan hubungan pemimpin degan bwahan atau anggota sebagai teman sekerja.
2)        Gaya kepemimpinan yang beroreitasi pada tugas.
Dalam gaya ini pemimpin akan merasa puas apabila mampu menyelesaikan tugas-tugas yang ada padanya. Sehingga tidak memperhatikan hubungan yang harmonis dengan bawahan atau anggota, tetapi lebih berorentasi pada pelaksanaan tugas sebagai prioritas yang utama.
c.         Teori Jalan Kecil-Tujuan (Paht-Goal Theory)
Dalam teori Jalan Kecil-Tujuan berusaha untuk menjelaskan pengaruh perilaku pemimpin terhadap motivasi, kepuasan, dan pelaksanaan pekerjaan bawahan atau angotanya. Berdasarkan hal tersebut, House (dalam M. Thoha, 1996:259) dalam Path-Goal Thery memasukkan empat gaya utama kepemimpinan sebagai berikut:
1)        Kepemimpinan direktif.
Gaya ini menganggap bawahan tahu senyatanya apa yang diharpkan dari pimpinan dan pengarahan yang khusus diberikan oleh pimpinan. Dalam model ini tidak ada partisipasi dari bawahan atau anggota.
2)        Kepemimpinan yang mendukung.
Gaya ini pemimpin mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati, dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap bawahan atau anggotanya.
3)        Kepemimpinan partisipatif.
Gaya kepemimpinan ini, pemimpin berusaha meminta dan mempergunakan saran-saran dari para bawahannya. Namun pengambilan keputusan masih tetap berada padanya.
4)        Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi.
Gaya kepemimpinan ini menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para bawahannya untuk berprestasi. Demikian juga pemimpin memberikan keyakinan kepada mereka mampu melaksnakan tugas pekerjaan mencapai tujuan secara baik.

5.    Jenis-jenis Kepemimpinan
1.        Kepemimpinan Pemerintahan
Secara etimologi kata pemerintahan berasal dari  kata ”perintah” mendapat awalan “pe” menjadi “pemerintah” berarti badan atau organ elit yang melakukan pekerjaan mengurus suatu negara. Mendapat akhiran “-an” menjadi kata “pemerintahan” berarti perihal, cara, perbuatan atau urusan dari badan yang berkuasa dan memiliki legitimasi.
Menurut C.F. Strong (1960) Maksudnya pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke dalam dan ke luar.
2.        Kepemimpinan swasta
Kepemimpinan swasta sudah barang tentu bermacam-macam, diantaranya adalah kepemimpinan dalam administrasi niaga yang berkonotasi dagang, artinya kegiatan yang dilakukan mereka agar dapat bertahan hidup dalam masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dalam hidup tersebut. Oleh karena itu kegiatan tersebut bersifat khusus karena bertujuan untuk mendapatkan uang, sebaliknya pihak lain yang dilayani bersedia mengeluarkan biaya dengan harapan memperoleh kemudahan, memperoleh kenyamanan dan kenikmatan.
Menurut William Marston (Tjipta Lesmana, 2009: 24), kepemimpinan dibagi menjadi 4 jenis, yaitu : Dominance, Influencing, Steadiness, dan Compliance.  Yang dikenal dengan istilah DISC.
a)         Dominance
 Cenderung menguasai situasi, kaya akan inisiatif, suka tantangan, tidak suka status-quo,  tegas untuk memiliki hasrat mencapai prestasi tinggi, tidak suka neko-neko, lebih berorientasi pada tugas,
b)      Influencing
Gemar berinteraksi sosial, menghormati sesama, suka dihormati, penuh optimis, rasa humor yang tinggi, dan pasti minta pendapat orang lain sebelum bertindak.
c)      Steadiness
Loyal, suka melayani orang lain, pencinta damai, rileks namun pekerja keras, bertindak atau berkomunikasi tidak langsung, jika ia tidak setuju terus terang, namun lambat dalam mengambil keputusan dan tidak suka konfrontasi.
d)     Compliance
Berpedoman pada hukum dan prosedur dalam bertindak, menghindari konflik, bahkan tidak antusias untuk membalas jika ditantang. Ia mencari penalaran yang tinggi,  selalu mencari fakta dan bukti.

6.    Fungsi-fungsi Kepemimpinan
Dalam upaya mewujudkan kepemimpinan yang efektif, maka kepemimpinan tersebut harus dijalankan sesuai dengan fungsinya. Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Hadari Nawawi (1995:74), fungsi kepemimpinan berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok masing-masing yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada didalam, bukan berada diluar situasi itu. Pemimpin harus berusaha agar menjadi bagian didalam situasi sosial kelompok atau organisasinya. Fungsi kepemimpinan menurut Hadari Nawawi memiliki dua dimensi yaitu:
a)         Dimensi yang berhubungan dengan tingkat kemampuan mengarahkan dalam tindakan atau aktifitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang yang dipimpinya.
b)        Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksnakan tugas-tugas pokok kelompok atau organisasi, yang dijabarkan dan dimanifestasikan melalui keputusan-keputusan dan kebijakan pemimpin.
Sehubungan dengan kedua dimensi tersebut, menurut Hadari Nawawi, secara operasional dapat dibedakan lima fungsi pokok kepemimpinan, yaitu:
1)        Fungsi Instruktif.
Pemimpin berfungsi sebagai komunikator yang menentukan apa (isi perintah), bagaimana (cara mengerjakan perintah), bilamana (waktu memulai, melaksanakan dan melaporkan hasilnya), dan dimana (tempat mengerjakan perintah) agar keputusan dapat diwujudkan secara efektif. Sehingga fungsi orang yang dipimpin hanyalah melaksanakan perintah.
2)        Fungsi konsultatif.
Pemimpin dapat menggunakan fungsi konsultatif sebagai komunikasi dua arah. Hal tersebut digunakan manakala pemimpin dalam usaha menetapkan keputusan yang memerlukan bahan pertimbangan dan berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya.
3)        Fungsi Partisipasi.
Dalam menjalankan fungsi partisipasi pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinya, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya. Setiap anggota kelompok memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dlam melaksnakan kegiatan yang dijabarkan dari tugas-tugas pokok, sesuai dengan posisi masing-masing.
4)        Fungsi Delegasi
Dalam menjalankan fungsi delegasi, pemimpin memberikan pelimpahan wewenang membuat atau menetapkan keputusan. Fungsi delegasi sebenarnya adalah kepercayaan seorang pemimpin kepada orang yang diberi kepercayaan untuk pelimpahan wewenang dengan melaksanakannya secara bertanggungjawab. Fungsi pendelegasian ini, harus diwujudkan karena kemajuan dan perkembangan kelompok tidak mungkin diwujudkan oleh seorang pemimpin seorang diri.
5)        Fungsi Pengendalian.
Fungsi pengendalian berasumsi bahwa kepemimpinan yang efektif harus mampu mengatur aktifitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuana bersama secara maksimal. Dalam melaksanakan fungsi pengendalian, pemimpin dapat mewujudkan melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan
pengawasan.

7.    Tipe-tipe Kepemimpinan
1.         Tipe Otokratik
Dilihat dari persepsinya seorang pemimpin yang otokratik adalah seorang yang sangat egois. Seorang pemimpin yang otoriter akan menunjuukkan sikap yang menonjolkan ”keakuannya”, antara lain dalam bentuk:
a)        Kecenderungan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain ddalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan martabat mereka.
b)        Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
c)        Pengabaian peran para bawahan dalam proses pemgambilan keputusan.
Gaya kepemimpinan yang dipergunakan adalah:
a)        Menuntut ketaatan penuh dari bawahannya.
b)        Dalam menegakkan disiplin menunjukkan keakuannya
c)        Bernada keras dalam pemberian perintah atau instruksi
d)       Menggunakan pendekatan punitif dalam hal terjaduinya penyimpangn oleh bawahan.
2.         Tipe Paternalistik
Tipe pemimpin paternalistik hanya terdapat dilingkungan masyarakat yang bersifat tradisional, umumnya dimasyarakat agraris. Salah satu ciri utama masyarakat tradisional ialah rasa hormat yang tinggi yang ditujukan oleh para anggota masyarakat kepada orang tua atau seseorang yang dituakan. Pemimpin seperti ini kebapakan, sebagai tauladan atau panutan masyarakat. Biasanya tokoh-tokoh adat, para ulama dan guru. Pemimpin ini sangat mengembangkan sikap kebersamaan.

3.         Tipe Kharismatik
Tidak banyak hal yang dapat disimak dari literatur yang ada tentang kriteria kepemimpinan yang kharismatik. Memang ada karakteristiknya yang khas yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya kadang-kadang sangat besar. Tegasnya seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak pengikut meskipun para pengikut tersebut tidk selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tersebut dikagumi.
4.         Tipe Laissez Faire
Pemimpin ini berpandangan bahwa umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri ari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaransasaran apa yang ingin dicapai, tugas yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan pemimpin tidak terlalu sering intervensi.
5.         Tipe Demokratis
Pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi. Menyadari bahwa mau tidak mau organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang tidak bisa tidak harus dilakukan demi tercapainya tujuan. Melihat kecenderungan adanya pembagian peranan sesuai dengan tingkatnya. Memperlakukan manusia dengan cara yang manusiawi dan menjunjung harkat dan martabat manusia.

II.      KOMUNIKASI
1.         Defenisi Komunikasi
Kata komunikasi berasal dari kata latin communicare yang mempunyai tiga arti: bergaul dengan seseorang; memberitahukan sesuatu kepada orang lain; berhubungan dengan orang lain. Dari kata kerja itu kemudian dibentuk kata benda menjadi communicatio  yang di-Indonesiakan menjadi komunikasi. Oleh karena itu kata komunikasi berarti pergaulan, pemberitahuan dan perhubungan (Sutaryo, 2005: 23).
Ada berbagai pendapat para ahli tentang apa itu komunikasi. Menurut J.L. Araungen, komunikasi adalah pengalihan informasi untuk memperoleh tanggapan. Semntara itu, Melvin L. De Fleur mendefenisikan komunikasi sebagai pengkoordinasian makna antara seseorang dengan khalayak. Berbeda lagi dengan Wilbur Schramm, dia mendefenisikan komunikasi sebagai saling berbagi informasi, gagasan atau sikap. Roucek dan Warren, sosiolog terkenal berpendapat bahwa communication is the process of transmitting facts, beliefs, attitudes, emotional reactions, or any other content of awareness between human beings (Sutaryo, 2005: 43-44). Ada banyak pendapat tentang defenisi komunikasi dan para ahli, namun hanya dikemukakan beberapa pendapat. Pada intinya komunikasi adalah penyampaian informasi dari seseorang kepada orang lain dalam bentuk tanda atau simbol.

2.         Jenis-jenis Teori Komunikasi
Menurut Littlejohn (1996), seperti dikutip Burhan Bungin (2011: 251), berdasarkan metode penjelasan serta cakupan objek pengamatan, secara umum teori-teori komunikasi dapat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama disebut kelompok ‘teori-teori umum’ (general theories), kelompok kedua adalah kelompok ‘teori-teori kontekstual’ (contextual theories).
Ada empat jenis teori dalam kelompok teori- teori umum, namun yang dimanfaatkan secara efektif dalam kancah-kancah komunikasi, yaitu: (1) teori-teori fungsional dan struktural; (2) teori behavioral dan cognitive; (3) teori- teori konvensional dan interaksional; serta (4) teori- teori kritis dan interpretatif. Sementara itu, kelompok teori-teori kontekstual terdiri dari teori tentang: (1) komunikasi antarpribadi; (2) komunikasi kelompok; (3) komunikasi organisasi; dan (4) komunikasi massa. Jenis- jenis teori komunikasi dapat dijelaskan seperti berikut:
a.    Teori- teori umum
1)        Teori- teori fungsional dan struktural
Ciri dan jenis teori ini dibangun berdasarkan asumsi dasar teori, yaitu: (1) masyarakat adalah organisme kehidupan; (2) masyarakat memiliki sub-subsistem kehidupan; (3) masing-masing subsistem memiliki fungsi yang berbeda; (4) fungsi-fungsi subsistem saling memberi kontribusi kepada subsistem lainnya; dan (5) setiap fungsi akan terstruktur dalam masyarakat berdasarkan fungsi masing-masing.
2)        Teori- teori behavioral dan cognitive
Menurut Sendjaja (2002), seperti dikutip Burhan Bungin (2011: 253), teori- teori behavioral dan cognitive yang berkembang dari psikologi dan ilmu pengetahuan behavioralis lainnya, cenderung memusatkan pengamatannya pada diri manusia secara individual. Salah satu konsep pemikirannya yang terkenal adalah tentang model “S-R” (stimulus-response) yang menggambarkan proses informasi antar stimulus (rangsangan) dengan response (tanggapan).
3)        Teori- teori konvensional dan interaksional
Teori-teori ini berpandangan bahwa kehidupan sosial merupakan suatu proses interaksi yang membangun, memelihara serta mengubah kebiasaan-kebiasaan tertentu, termasuk dalam hal ini bahasa dan simbol-simbol. Komunikasi menurut teori ini dianggap sebagai alat perekat masyarakat (the glue of society).
4)        Teori- teori kritis dan interpretatif
Kelompok teori ini gagasan-gagasannya banyak berasal dari berbagai tradisi, seperti sosiologi interpretatif (interpretative sociology), pemikiran Max Weber, phenomonology dan hermeneutics, Marxisme dan aliran Frankfurt School serta berbagai pendekatan tekstual, seperti teori-teori retorika, biblical, dan kesusasatraan. Teori ini kemudian melahirkan teori dan pendekatan baru dalam komunikasi seperti sosiologi komunikasi, hukum komunikasi dan hukum media, komunikasi antar budaya, komunikasi politik, komunikasi organisasi, komunikasi publik, semiotika komunikasi, public relation, dan sebagainya. Teori-teori ini memiliki dua karakteristik umum. Pertama, penekanan terhadap peran subjektivitas yang didasarkan pada pengalaman individual. Kedua, makna atau meaning merupakan konsep kunci dalam teori ini. Pengalaman dipandang sebagai meaning centered atau dasar pemahaman makna. Dalam hal ini bahasa menjadi konsep sentral karena bahasa dipandang sebagai kekuatan yang mengemudikan pengalaman manusia.
b.    Teori- teori kontekstual
1)      Komunikasi intra pribadi (intra-personal communication)
Intra-personal communication adalah proses komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang. Yang jadi pusat perhatian adalah bagaimana jalannya proses pengolahan informasi yang dialami seseorang melalui sistem syaraf dan indranya. Teori ini umumnya membahas mengenai proses pemahaman, ingatan, dan interpretasi terhadap simbol-simbol yang ditangkap melalui pancaindra.
2)      Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication)
Interpersonal communication adalah komunikasi antar perorangan dan bersifat pribadi, baik yang terjadi secara langsung (tanpa medium) ataupun tidak langsung (melalui medium). Kegiatan-kegiatan seperti percakapan melalui telepon, surat menyurat pribadi merupakan contohnya. Teori-teori antarpribadi umumnya memfokuskan pengamatannya pada bentuk-bentuk dan sifat hubungan (relationship), percakapan (discourse), interkasi, dan karakteristik komunikasi.
3)      Komunikasi kelompok (group communication)
Group communication memfokuskan pembahasannya pada interaksi antara orang-orang dalam kelompok-kelompok kecil. Komunikasi kelompok juga melibatkan komunikasi antarpribadi. Teori ini antara lain membahas tentang dinamika kelompok, efisiensi dan efektivitas penyampaian informasi dalam kelompok, pola dan bentuk informasi, serta pembuatan keputusan.
4)      Komunikasi organisasi (organizational communication)
Organizational communication menunjuk kepada pola dan bentuk komunikasi yang terjadi dalam konteks dan jaringan organisasi. Komunikasi organisasi melibatkan bentuk-bentuk komunikasi formal dan informal, serta bentuk-bentuk komunikasi antarpribadi dan komunikasi kelompok. Pembahasan teori ini antar lain menyangkut struktur dan fungsi organisasi, hubngan antarmanusia, komunikasi dan proses pengorganisasian, serta kebudayaan organisasi
5)      Komunikasi massa (mass communication)
Mass communication adalah komunikasi melalui media massa yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang besar. Proses komunikasi massa melibatkan aspek-aspek komunikasi intra-pribadi, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, dan komunikas organisasi. Teori ini umumnya memfokuskan perhatiannya pada hal-hal menyangkut struktur media, hubungan media dengan masyarakat, hubungan antar media dan khalayak, aspek-aspek budaya dari komunikasi massa, serta dampak atau hasil komunikasi massa terhadap individu.

3.         Model dan Proses Komunikasi
1)        Model Komunikasi
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, seperti dikutip Burhan Bungin (2011: 257-258), menjelaskan 3 model komunikasi:
Pertama, model komunikasi linier, yaitu model komunikasi satu arah (one-way view of communication). Dimana komunikator memberikan suatu stimulus dan komunikan memberikan respons atau tanggapan yang diharapkan, tanpa mengadakan seleksi dan interpretasi. Seperti teori jarum hipodermik (hipodermic needle theory), asumsi-asumsi teori ini yaitu ketika seseorang mempersuasi orang lain, maka ia “menyuntikkan satu ampul” persuasi kepada orang lain itu, sehingga orang lain tersebut melakukan apa yang ia kehendaki.
Kedua, model komunikasi dua arah adalah model komunikasi interaksional, merupakan kelanjutan dari pendekatan linier. Pada model ini, terjadi komunikasi umpan balik (feedback) gagasan. Ada pengirim (sender) yang mengirimkan informasi dan ada penerima (receiver) yang melakukan seleksi, interpretasi dan respon balik terhadap pesan dari pengirim (sender). Dengan demikian komunikasi ini berlangsung dalam proses dua arah (two-way) maupun prses peredaran atau perputaran arah (cylical process), sedangkan setiap partisipan memiliki peran ganda, dimana pada satu waktu bertindak sebagai sender, sedangkan pada waktu lain bertindak sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya.
Ketiga, model komunikasi transaksional, yaitu komunikasi hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan (relationship) diantara dua orang atau lebih. Proses komunikasi ini menekankan semua perilaku adalah komunikatif dan masing-masing pihak yang terlibat dalam komunikasi konten pesan yang dibawanya dan saling bertukar dalam transaksi.
2)        Proses Komunikasi
Menurut Sendjaja dkk (2002) seperti dikutip Burhan Bungin (2011: 258), dalam tataran teoretis, paling tidak kita mengenal atau memahami komunikasi dari dua perspektif, yaitu perspektif kognitif dan perilaku. Komunikasi menurut Colin Cherry, yang mewakili perspektif kognitif adalah penggunaan lambang-lambang (symbols) untuk mencapai kesamaan makna atau berbagi informasi tentang satu objek atau kejadian. Informasi adalah sesuatu (fakta, opini, gagasan) dari satu partisipan kepada partisipan lain melalui penggunaan kata-kata atau lambang lainnya. Jika pesan yang disampaikan diterima secara akurat, receiver akan memiliki informasi yang sama seperti dimiliki sender, oleh karena itu tindak komunikasi telah terjadi.

4.         Jenis-jenis Komunikasi Sosial
Menurut Hendropuspito (Sutaryo, 2005: 24-25), komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis menurut sudut pandang tertentu. Berikut ini adalah pandangan tentang jenis-jenis komunikasi sosial.
1)        Komunikasi langsung dan tidak langsung
Komunikasi langsung (direct communication) juga disebut komunkasi dari muka ke muka (face to face). Si pengirim pesan berhubungan langsung dengan penerima, tanpa perantara. Bentuk komunikasi inilah yang paling sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Tanggapan dari si penerima langsung dapat diketahui si pemberi pesan. Komunikasi jenis ini menciptakan suasana tersendiri, akrab dan saling percaya.
Komunikasi tidak langsung (indirecht communication) terjadi apabila dalam berkomunikasi dipakai satu atau lebih perantara untuk menghubungkan komunikator dengan komunikan. Jenis komunikasi ini digunakan karena berbagai pertimbangan, antara lain karena jarak dan karena sifat pesan itu sendiri dirasa kurang sesuai jika disampaikan secara pribadi oleh pengirim atau karena dua pihak yang bermusuhan harus didamaikan.

2)        Komunikasi satu arah dan komunikasi timbal balik
Komunikasi satu arah (one-way communication) terjadi apabila penyampaian pesan itu datang dari satu arah, jadi tidak mungkin ada tanggapan langsung dari penerima, misalnya perintah harian ketentaraan, siaran radio, televisi. Bentuk komunikasi ini menciptakan hubungan yang kaku, karena tidak mungkin ada tanggapan langsung.
Komunikasi timbal balik (reciprocal communication) terjadi jika pihak penerima pesan dapat memberikan jawaban langsung kepada pemberi, misalkan pembicaraan lewat telepon, musyawarah. Bentuk komunikasi ini dapat mempererat hubungan dan menjalin hubungan persaudaraan. Kedua belah pihak sama-sama aktif.
3)        Komunikasi bebas dan komunikasi fungsional
Komunikasi bebas (nonorganik)tidak terikat pada formalitas tertentu yang harus ditaati. Satu-satunya ikatan ialah kode sosio-kultural pada umumnya, misalnya komunikasi dalam pergaulan biasa dimana dua belah pihak diharapkan mengenal aturan sopan santun.
Komunikasi fungsional (institusional) terikat pada peraturan institusi yang bersangkutan. Komunikasi ini bersifat fungsional dan struktural, misalnya pejabat pemerintahan terhadap bawahannya, panglima dengan anak buahnya. Penyampaian pesan dilakukan menurut formalitas tertentu, seperti protokoler, sekretaris pribadi.
4)        Komunikasi individual dan dan komunikasi massal
Komunikasi individual (individualcommunication) ditujukan kepada satu orang atau beberapa orang yang sudah dikenal. Pihak komunikan bukan anonim, tapi orang yang dikenal baik oleh pihak komunikator. Hasil komunikasi ini mempunyai bobot tersendiri.
Komunikasi massal (mass communication atau general communication) ditujukan kepada umum yang tidak dikenal. Pihak komunikan terdiri dari massa dengan berbagai sosio-kultural, ras dan usia.




5.         Faktor-faktor penghambat dalam Komunikasi
1)      Hambatan sosiologis
Seorang sosiolog jerman bernama Ferdinand Tonnies mengklasifikasikan kehidupan masyarakat menjadi dua jenis yang ia namakan Gemeinschaft dan gesellschaft. Gemeinschaft adalah pergaulan hidup yang bersifat pribadi, statis, dan rasional, seperti dalam kehidupan rumah tanngga; sedangkan gesellschaft adalah pergaulan hidup yang bersifat pribadi, dinamis, dan rasional, seperti pergaulan di kantor atau dalam organisasi.
Karena dalam kehidupan masyarakat itu terbagi atas berbagai gologan dan lapisan, menimbulkan perbedaan status social, agama, ideologi, tingkat pendidikan, tingkat kekayaan, dan sebagainya, semua itu menjadi hambatan dalam berkomunikasi dan inilah yang termaksud dalam hambatan sosiologis.
2)      Hambatan antropologis
Manusia, meskipun satu sama lain sama dalam jenisnya sebagai makhluk “homo sapiens”, tetapi ditakdirkan berbeda dalam banyak hal. Dalam komunikasi misalnya, komunikator dalam melancarkan komunikasinya dia akan berhasil apabila dia mengenal siapa komunikan dalam arti ‘siapa’ disini adalah bukan soal nama, melainkan ras, bangsa, atau suku apa si komunikan tersebut. Dengan mengenal dirinya, akan mengenal pula kebudayaannya, gaya hidup dan norma kehidupannya, kebiasaan dan bahasanya.
Perlu kita ketahui komunikasi berjalan lancar jika suatu pesan yang disampaikan komunikator diterima olehg komunikan secara tuntas, yaitu diterima dalam pengertian received atau secara inderawi, dan dalam pengertian accepted atau rohani. Teknologi komunikasi tanpa dukungan kebudayaan tidak akan berfungsi.
3)      Hambatan psikologis
Faktor psikologis sering menjadi hambatan dalam berkomunikasi. Hal ini umunnya disebabkan sikomunikator dalam melancarkan komunikasinya tidak terlebih dahulu mengkaji si komunikan. Komunikasi sulit untuk berhasil apabila komunikan sedang sedih, bingung, marah, merasa kecewa, merasa iri hati, dan kondisi psikologi lainnya; juga jika komunikasi menaruh prasangka kepada komunikator.
Prasangka merupakan salah satu hambatan berat bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah bersikap menentang komunikator. Apalagi kalau prasangka itu sudah berakar, seseorang tidak lagi berpikir objektif, dan apa saja yang dilihat atau didengarnya selalu dinilai negatif. Prasangka sebagai factor psikologis dapat disebabkan oleh aspek antropologisdan sosiologis; dapat terjadi terhadap ras, bangsa suku bangsa, agama, partai politik, kelompok dan apa saja yang bagi seseorang merupakan suatu perangsang disebabkan dalam pengalamannya pernah diberi kesan tidak enak. Berkenaan dengan factor-faktor penghambat komunikasi yang bersifat sosiologis-antropologis-psikologis itu menjadi permasalahan ialah bagaimana upaya kita mengatasinya. Cara mengatasinya ialah mengenal diri komunikan dengan mengkaji kondisi psikologinya sebelum komunikasi terjadi, dan bersikap empatik kepada komunikan.
4)      Hambatan semantic
Kalau hambatan sosiologis-antropologis-psikologis terdapat pada pihak komunikan, maka hambatan semantis terdapat pada komunikator. Factor semantis menyangkut bahasa yang dipergunakan komunikator sebagai alat untuk menyalurkan pikiran dan perasaannya kepada komunikan. Agar proses komunikasi itu berjalan dengan baik seorang komunikator hareus benar-benar memperhatikan gangguan semantis ini, sebab salah mengucap atau salah tulis dapat menimbulkan salah pengertian atau salah tafsir, yang pada gilirannya bisa ,menimbulkan salah komunikasi. Gangguan semantis juga kadang-kadang disebabkan oleh aspek antropologis, yakni kata-kata yang sama bunyi dan tulisannya, tetapi memiliki makna yang berbeda. Salah komunikasi ada kalanya disebabkan oleh pemilihan kata yang tidak tepat, dalam komunikasi hendaknya menggunakan kata-kata yang dapat dimengeri atau yang denotatif.
Jadi untuk menghilangkan hambatan semantis dalam komunikasi, seorang komunikator harus mengucapakan pertanyaan yang jelas dan tegas, memilih kata-kata yang tidak menimbulkan persepsi yang salah, dan disususn dalam kalimat-kalimat yang dapat dimengerti.
5)      Hambatan mekanis
Hambatan mekanis dijumpai pada media yang dipergunakan dalam melancarkan komunikasi. Contohnya: suara telepon yang kurang jelas, berita surat kabar yang sulit dicari sambungan kolomnya, gambar yang kurang jelas pada pesawat televise dan lain-lain. Hambatan pada beberapa media tidak mungkin diatasi oleh komunikator tapi biasanya memerlukan orang-orang yang ahli di bidang tersebut misalnya teknisi.
6)      Hambatan Ekologis
Hambatan ekologis terjadi oleh gangguan lingkungan terhadap proses berlangsungnya komunikasi. Contohnya adalah suara riuh (bising) orang-orang atau lalu lintas, suara hujan atau petir, suara pesawat terbang dan lain-lain. Untuk menghindari hambatan ini, komunkator harus mengusahakan tempat komunikasi yang bebas dari gangguan seperti yang telah disebutkan tadi.

III.   MEDIA MASSA
1.         Apa itu Media Massa?
Kata media massa berasal dari medium dan massa, kata "medium" berasal dari bahasa latin yang menunjukkan adanya berbagai sarana atau saluran yang diterapkan untuk mengkomunikasikan ide, gambaran, perasaan dan yang pada pokoknya semua sarana aktivitas mental manusia, kata "massa" yang berasal dari daerah Anglosaxon berarti instrumen atau alat yang pada hakikatnya terarah kepada semua saja yang mempunyai sifat massif. Tugasnya adalah sesuai dengan sirkulasi dari berbagai pesan atau berita, menyajikan suatu tipe baru dari komunikasi yang sesuai dengan kebutuhan fundamental dari masyarakat dewasa ini.
Media massa merupakan suatu penemuan teknologi yang luar biasa, yang memungkinkan orang untuk mengadakan komunikasi bukan saja dengan komunikan yang mungkin tidak pernah akan dilihat akan tetapi juga dengan generasi yang akan datang. Dengan demikian maka media massa dapat mengatasi hambatan berupa pembatasan yang  diadakan  oleh waktu, tempat dan kondisi geografis. Penggunaan media massa karenanya memungkinkan komunikasi dengan jumlah orang yang lebih banyak.
Menurut Uchjana Effendy (1989) seperti dikutip Sutaryo (2005: 289), media massa adalah media komunikasi yang mampu menimbulkan keserempakan, dalam arti khalayak dalam jumlah yang relatif sangat banyak secara bersama-sama, pada saat yang sama memperhatikan pesan yang dikomunikasikan melalui media tersebut, misalnya surat kabar, radio, televisi, dan film yang ditayangkan di bioskop.
Sementara itu Alo Liliweri (1992) berpendapat bahwa, media massa merupakan sifat. Instrumen komunikasi massa telah memberikan peluang kepada kita untuk merekam, mentransmisi pelbagai pengalaman dan informasi secara cepat dan meluas untuk mencapai suatu khalayak yang heterogen. Komunikasi massa, melalui medianya membantu kita berhubungan dengan khalayak. Media merupakan jembatan yang mengatasi hubungan antara komunikator dengan komunikan yang melintasi jarak, waktu bahkan batas-batas pelapisan sosial suatu masyarakat (Sutaryo, 2005: 290).
Sedangkan menurut Burhan Bungin (2011: 85), media massa adalah institusi yang berperan sebagai agent of change, yaitu sebagai institusi pelopor perubahan. Ini adalah paradigma utama media massa.

2.         Peran Media Massa bagi Masyarakat
Media massa dalam menjalankan paradigmanya berperan sebagai:
1)        Sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu perannya sebagai media edukasi. Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikirannya, dan menjadi masyarakat yang maju.
2)        Selain itu, media massa juga menjadi meia informasi, yaitu media yang setiap saat menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan informasi yang terbuka, jujur dan benar disampaikan media massa kepada masyarakat, maka masyarakat akan menjadi kaya dengan informasi, masyarakat yang terbuka dengan informasi, sebaliknya pula masyarakat akan menjadi masyarakat informatif, masyarakat yang dapat menyampaikan informasi dengan jujur kepada medi massa. Selain itu, informasi yang banyak dimiliki oleh masyarakat, menjadikan masyarakat sebagai masyarakat dunia yang dapat berpartispasi dengan berbagai kemampuannya.
3)        Terakhir media massa sebagai hiburan. Sebagai agent of change, media massa juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan, katalisator perkembangan budaya. Sebagai agent of change yang dimaksud adalah juga mendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi manusia bermoral dan masyarakat sakinah, dengan demikian media massa juga berperan untuk mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak peradaban manusia dan masyarakatnya.
Subiakto (2006) mengatakan, secara lebih spesifik, peran media massa  saat ini lebih menyentuh persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat secara aktual, seperti:
a)        Harus lebih spesifik dan proporsional dalam melihat sebuah persoalan sehingga mampu menjadi media edukasi dan media informasi sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.
b)        Dalam memotret realitas, media massa harus fokus pada realitas masyarakat, bukan pada potret kekuasaan yang ada pada masyarakat itu, sehingga informasi tidak menjadi propaganda kekuasaan, potret figur kekuasaan.
c)        Sebagai lembaga edukasi, media massa harus dapat memilah kepentingan pencerahan dengan kepentingan media massa sebagai lembaga produksi, sehingga kasus-kasus pengaburan berita dan iklan tidak harus terjadi dan merugikan masyarakat.
d)       Media massa juga harus menjadi early warning system, hal ini terkait dengan peran media masa sebagai media informasi, dimana lingkungan saat ini mejadi sumber ancaman. Media massa menjadi sebuah sistem dalam sistem besar peringatan terhadap ancaman lingkungan, bukan hanya menginformasikan informasi setelah terjadi bahaya dari lingkungan itu.
e)        Dalam hal menghadapi ancaman masyarakat yang lebih besar seperti terorisme, seharusnya media massa lebih banyak menyoroti aspek fundamental pada terorisme seperti mengapa terorisme itu terjadi, bukan hanya pada aksi-aksi terorisme (Burhan Bungin, 2011: 86-87).

3.         Peranan Media dalam Pembangunan
Menurut Crawford peranan media massa dalam pembangunan tidaklah independen sifatnya melainkan terbatas sebagai pemicu pembangunan bila faktor-faktor lain terdapat secara memadai. Hal ini menunjukkan komunikasi saja bukanlah suatu kondisi yang memadai bagi pembangunan akan tetapi kurangnya atau kegagalan komunikasi dapat saja menghambat pembangunan. Jadi komunikasi sendirian saja tidak akan menghasilkan pembangunan secara optimal (Depdikbud, 1997: 4)
Selain memiliki fungsi-fungsi tersebut media massa juga dapat melakukan hal-hal lain yang dapat berperan dalam melayani tugas-tugas pembangunan antara lain :
a)        Media massa dapat memperluas cakrawala pemikiran
Banyak orang yang hidup dalam masyarakat tradisional menganggap seolah-olah media massa memiliki kekuatan gaib pada waktu pertama kali mengenal media massa. Seorang tokoh Afrika mengatakan bahwa media memiliki kekuatan gaib, karena media mampu membawa seseorang ke puncak bukit yang tinggi tanpa melintasi cakrawala. Media memiliki kekuatan gaib karena kemampuannya membuat orang melihat dan mengetahui tempat-tempat yang belum pernah dikunjunginya serta mengenai orang-orang yang belum pernah ditemuinya. Dengan demikian media mampu memperdekat jarak yang jauh serta memperjelas hal-hal yang kabur dan menjembatani peralihan antara masyarakat tradisional ke arah masyarakat modern.
b)        Media massa dapat memusatkan perhatian
Dalam masyarakat modern, gambaran kita tentang lingkungan yang jauh, kita peroleh dari media. Masyarakat tradisional yang bergerak ke arah modernisasi juga mulai menggantungkan pengetahuannya pada media massa. Akibatnya pemikiran-pemikiran tentang apa yang penting, berbahaya, menarik dan sebagainya umumnya berasal dari media massa. Surat kabar, radio dan TV yang berperan sebagai pengawas di berbagai tempat harus memutuskan apa yang tepat untuk disiarkan.
c)        Media massa mampu menumbuhkan aspirasi
Media massa mampu menumbuhkan aspirasi sebagaimana dinyatakan oleh Daniel Lerner ketika radio Kairo menjangkau desa-desa terpencil melalui aspirasi pribadi yang ditumbuhkan hampir seluruh ide dapat diwujudkan karena didukung masyarakat. Suatu kebijaksanaan baru akan menuntut persesuaian antara apa yang diinginkan masyarakat dengan apa yang mereka peroleh. Tanpa aspirasi yang meningkat tanpa merangsang masyarakat bekerja untuk hidup yang lebih baik akan bekerja sulit sekali mewujudkan pembangunan.
d)       Media massa mampu menciptakan suasana membangun
Kita dapat menyimpulkan bahwa melalui peranan media menyebar di luar kelas sebagai alat pendidikan. Di tempat dimana sekolah dan guru langka jumlahnya, media telah membuktikan kemampuannya memikul sebagian besar tugas pendidikan terutama di bidang pendidikan orang-orang dewasa serta pemberantasan buta huruf. Media massa merupakan alat komunikasi yang dapat berfungsi untuk memotivasi perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Karenanya dengan penyampaian informasi, gagasan, inovasi dan pendapat, media massa berusaha memberi motivasi kepada komunikan sehingga terjadi perubahan diri. Untuk itu media massa hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut;
1)        Pesan   atau ajakan yang disampaikan harus dapat menimbulkan perasaan tertentu pada masyarakat
2)        Pesan atau ajakan itu hendaknya berisi lambang-lambang atau tanda-tanda komunikasi sesuai dengan daya tangkap,  daya serap dan daya nilai sebagian besar masyarakat terutama golongan masyarakat yang dituju
3)        Pesan atau ajakan itu membangkitkan kebutuhan dan keinginan tertentu pada sasaran dan kemudian menyarankan upaya untuk pemenuhan harapan masyarakat;
4)        Pesan itu membangkitkan harapan komunikan.
Dengan    demikian pesan    yang    disampaikan    kepada komunikan dapat memberikan motivasi untuk berpartisipasi atau untuk mengubah diri.
Dalam  kaitannya secara khusus   dengan   lingkungan,  berdasarkan  makalah Koesnadi Hardjasoemantri yang berjudul “Peranan Hukum Lingkungan Dalam Tatanan Masa Depan Indonesia", media massa merupakan salah satu pendukung lingkungan dalam meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat. Peranan media massa sendiri adalah sebagai sarana sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dengan tujuan agar masyarakat memahami hak dan kewajibannya Bentuk sosialisasinya adalah dengan mengadakan rubrik berkala untuk media cetak, misalnya setiap bulan, tentang peraturan lingkungan hidup, maupun media elektronikanya, termasuk radio, melalui acara berkala, misalnya setiap bulan, tentang peraturan lingkungan hidup.


Pustaka Acuan
Athen, “Faktor-faktor penunjang dan penghambat dalam Komunikasi”, 3 Maret 2011, http:// athenlengkong.blogspot.com/2011/03/faktor-faktor-penunjang-dan-penghambat.html, diakses tanggal 10 oktober 2013 pukul 20.48
Bungin, H.M. Burhan, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknogi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana 2011
Depari, Eduard dkk,  Peranan  Komunikasi  Massa  Dalam  Pembangunan. Suatu Kumpulan    Karangan.   Yogyakarta: Gadjah    Mada    University    Press 1978
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DIY, Peranan Media Massa Lokal Bagi Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah 1997
Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1994
Lesmana, Tjipta, Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik para Penguasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2009
Nawawi, Hadari, Kepemimpinan yang Efektif, Yogyakarta: Gajah Mada Unisity Press 1995  
Sulistiyani, Ambar Teguh, Kepemimpinan Profesional: Pendekatan Leadership Game, Yogyakarta: Gava Media 2008
Sutaryo, Sosiologi Komunikasi, Yogyakarta: Arti Bumi Intaran 2005
Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi, Jakarta: PT. Raja Erfindo Persada 1996

Winardi, Kepemimpinan dalam Manajemen, Jakarta: Rineka Cipta 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar