Pendahuluan
Manusia
di dalam kehidupannya harus berkomunikasi, artinya memerlukan orang lain dan
membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal ini
merupakan suatu hakekat bahwa sebagian besar pribadi manusia terbentuk dari
hasil integrasi sosial dengan sesama dalam kelompok dan masyarakat. Di dalam
kelompok/organisasi itu selalu terdapat bentuk kepemimpinan yang merupakan
masalah penting untuk kelangsungan hidup kelompok, yang terdiri dari pemimpin
dan bawahan/karyawan. Di antara kedua belah pihak harus ada two-way-communications atau komunikasi
dua arah atau komunikasi timbal balik, untuk itu diperlukan adanya kerja sama
yang diharapkan untuk mencapai cita-cita, baik cita-cita pribadi, maupun
kelompok, untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Kerja sama tersebut terdiri
dari berbagai maksud yang meliputi hubungan sosial/kebudayaan. Hubungan yang
terjadi merupakan suatu proses adanya suatu keinginan masing-masing individu,
untuk memperoleh suatu hasil yang nyata dan dapat memberikan manfaat untuk
kehidupan yang berkelanjutan.
Hubungan yang dilakukan oleh unsur pimpinan
antara lain kelangsungan hidup berorganisasi untuk mencapai perkembangan ke
arah yang lebih baik dengan menciptakan hubungan kerja sama dengan bawahannya.
Hubungan yang dilakukan oleh bawahan sudah tentu mengandung maksud untuk
mendapatkan simpati dari pimpinan yang merupakan motivasi untuk meningkatkan
prestasi kerja ke arah yang lebih baik. Hal ini tergantung dari kebutuhan dan
cara masing-masing individu, karena satu sama lain erat hubungannya dengan
keahlian dan tugas-tugas yang harus dilaksanakan.
Bila sasaran komunikasi dapat diterapkan
dalam suatu organisasi baik organisasi pemerintah, organisasi kemasyarakatan,
maupun organisasi perusahaan, maka sasaran yang dituju pun akan beraneka ragam,
tapi tujuan utamanya tentulah untuk mempersatukan individu-individu yang
tergabung dalam organisasi tersebut.
Siapa
yang menguasai media massa (informasi) maka ia menguasai dunia. Pernyataan tersebut
kerap kali dilontarkan kalangan masyarakat khususnya bagi kalangan yang berkecimpung
di dunia informasi, komunikasi dan media. Hal itu mengingat media massa
merupakan sesuatu yang patut diperhitungkan mengingat perannya sangat penting
bagi suatu arah dan kebijakan pembangunan bangsa serta eksistensi suatu
kepemimpinan.
Selain
itu, peran media massa juga memiliki dua sisi strategis bagi siapa yang
mengarahkan dan menggunakannya. Sebab dengan media seseorang bisa mengubah hal
yang benar menjadi salah, dan hal yang salah menjadi benar. Lewat media massa
suatu kepemimpinan yang dinilai kurang maksimal kinerja dan keberpihakannya
terhadap masyarakat, bisa ‘dipoles’ menjadi positif atau ke arah yang lebih
baik.
Makalah
sederhana ini dibuat dengan mengulas tiga hal pokok yang telah dikemukan di
atas yakni kepemimpinan, komunikasi dan media massa.
I.
KEPEMIMPINAN
1.
Kepemimpinan: Apa itu?
Ambar Teguh Sulistiyani (2008: 11)
berpendapat bahwa untuk memahami kepemimpinan perlu dikupas dari sisi
etimologis dan defenitif. Aspek etimologis lebih mengedepankan permasalahan
dari tinjauan bahasa, sedangkan aspek defenitif berpijak pada seperangkat
pengertian yang dikemukakan oleh para ahli. Bertolak pada pemahaman defenisi
kepemimpinan tersebut akan diperoleh variasi pendapat tentang apa yang dimaksud
dengan kepemimpinan. Banyaknya ahli yang memperhatikan kepemimpinan,
menyumbangkan defenisi yang demikian beragam dan mencakup rentang pengertian
yang lebar.
Dari aspek etimologis leadership dapat ditelusuri maknanya
dengan mengupas secara harafiah. Pemaknaan secara harafiah lebih cenderung
menelusuri asal muasal kata pembentuk konsep tersebut. Adapun dilihat secara
harafiah ini, kepemimpinan dapat dipahami sebagai:
1)
Kepemimpinan diadopsi dari
bahasa Inggris yaitu leadership, yang
berasal dari akar kata to lead yaitu
berupa kata kerja yang berarti memimpin.
2)
Lebih lanjut kepemimpinan
tersebut dapat dipahami dengan to show
the way to by going in advance.
3)
Betolak dari pengertian
secara harafiah tersebut di atas dengan demikian pemimpin merupakan suatu
pekerjaan seseorang tentang bagaimana cara-cara untuk mengarahkan (direct) orang lain.
Pemaknaan lain terkait dengan pengertian
harafiah dapat dikupas dari aspek subyek atau pihak yang menjadi pelaku dalam
kepemimpinan. Sisi lain yang perlu dipahami selain materi pekerjaannya, ada
sudut pandang lain juga perlu diketengahkan tentang person/individu yang
menjalankan kepemimpinan. Adapun pemaknaan secara terperinci sebagai berikut:
1)
Artinya kepemimpinan juga
harus dipahami dari sisi pelaku kepemimpinan yang disebut dengan istilah leader (pemimpin) yaitu orang yang
melakukan aktivitas atu kegiatan untuk memimpin.
2)
Pemimpin merupakan orang
yang menjalankan kepemimpinan atau dapat dimengerti sebagai a person who leads other a long way guidance.
Dari pengertian ini jelaslah bahwa
seorang pemimpin adalah seseorang yang memimpin orang lain dengan cara
memberikan petunjuk, atau dengan dimaknai secara lebih formal, bahwa dalam
menjalankan kepemimpinan seseorang tersebut menjalankan perintah. Dengan
pengertian ini maka kreasi-kreasi dan inovasi-inovasi pemimpin sebagai subyek
yang menjalankan peran untuk memimpin tersebut sangat penting.
Selain defenisi secara etimologis dan
harafiah yang telah dikemukakan di atas, dapat diketengahkan juga defenisi
kepemimpinan menurut beberapa ahli, diantaranya (Winardi, 2000: 45-46):
1)
Joseph L. Massie/John
Douglas: “... leadership occurs when one
person induces others to work toward some predetermined objective”
2)
Harold Koontx dan Cyril
O’Donnel: “... it (leadership) may be defined as the ability to exert
interpersonal influence, by means of communication, toward the achievment of a
goal.
3)
G. R. Terry: “... leadership is the relationship in which one
person, or the leader, influenceother to work together willingly on related
tasks to attain that which the leader desires”
2.
Teori Lahirnya Pemimpin
A.
Sudut Pandang tentang Munculnya Pemimpin
Perdebatan tentang kelahiran pemimpin sering menyeruak diantar
para ahli yang menekuni subyek ini. Namun akhirnya perdebatan tersebut bermuara
pada suatu kesimpulan bahwa di satu sisi pemimpin dapat dilahirkan dan disisi
lainnya pemimpin dapat dibentuk. Dalam praktek sangat nyata bahwa dua simpulan
ini benar, karena ada praktek dalam sistem regenerasi kepemimpinan yang diatur
secara silsilah kedinastian yang jika dirunut dari awal munculnya sistem
pemerintahan di suatu wilayah berasal dari satu keturunan tersebut, dan hal
tersebut berlangsung secara terus menerus.
Sedangkan dalam praktek yang berbeda, kepemimpinan berlangsung
melaui peralihan yang sangat dinamis, bahkan diwarnai oleh intrik-intrik
politik berbagai kubu. Proses ini menunjukkan bahwa siapa saja yang memenuhi
persyaratan dapat mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin. Proses pengangkatannya
juga melaui pemilihan umum atau terbatas yang berlansung secara terbuka.
Persitiwa ini dapat dimaknai bahwa munculnya kepemimpinan bukan karena ikatan
darah kebangsawanan, melainkan melalui sebuah proses pembentukan yang
berlangsung lama.
B.
Teori Lahirnya Pemimpin
Pemahaman tentang teori lahirnya pemimpin sebagai bagian yang
dapat dikembangkan untuk mengenali praktek penyelenggaraan kepemimpinan yang
sering beraneka ragam. Pisau analisis dapat semakin tajam ketika seseorang
melakukan pengamatan baik proses pergantian, regenerasi ataupun kegiatan
operasional terkait dengan kepemimpinan. Pemahaman terhadap teori-teori
tersebut diharapkan mampu mengasa sensitivitas pembelajar untuk
mengidentifikasi asal-usul kepemimpinan (Ambar Teguh Sulistiyani, 2008: 52).
Kartini Kartono, seperti dikutip Ambar Teguh Sulistiyani (2008)
mengatakan bahwa dilihat dari sebab musabab munculnya pemimpin, ada tiga teori
yang menonjol dalam menjelaskan kemunculan pemimpin, yaitu: teori genetis,
teori sosial (sebagai lawan dari teori genetis) dan teori ekologis atau
sintesis (yang muncul sebagai reaksi dari kedua teori tersebut). Menurut Ambar
Teguh Sulistiyani (2008: 53), istilah lain yang dipergunakan untuk menyebut
teori-teori tersebut adalah hereditary
theory, social theory, dan situational theory. Ketiga teori ini
menjadi landasan teoritis untuk memberikan klasifikasi asal-usul kepemimpinan.
Adapun secara jelas teori-teori lahirnya pemimpin tersebut dapat dkemukakan
dalam tiga kategori:
1.
Hereditary Theory
Hereditary theory atau teori keturunan merupakan pandangan yang membenarkan bahwa
pemimpin itu dilahirkan. Dengan demikian sejalan dengan pandangan pertama bahwa
seorang pemimpin itu hanya berasal dari kalangan tertentu, dan telah membawa
sifat-sifat pemimpin sejak lahir. Sifat dari teori ini adalah deterministik
dan fatalistik.
Contoh dari teori ini adalah sistem pemerintahan dinasti dan
kerajaan. Karena itu teori ini disebut juga dengan teori orang besar. Bahwa
orang besar sebagai seorang pemimpin itu dilahirkan dari kalangan pemimpin
pula. Keyakinan teori ini mengantarkan pada suatu dogma bahwa hak dan wewenang
memimpin itu hanya dimiliki oleh suatu kalangan tertentu atau keturunan dinasti
tertentu. Keluarga lain diluar dinasti tersebut tidak berhak untuk menjadi
pemimpin.
Sistem kepemimpinan serta regenerasi kepemimpinan berlangsung
secara sakral dan penuh dengan pemujaan-pemujaan terhadap pemimpin yang
dianggap sebagai orang besar. Sistem budaya lokal sebagai basis kepemimpinan
dalam teori ini senantiasa melingkupi seluruh kehidupan dan kepemimpinan.
Upacara dan ritual yang diselenggarakan selalu menjadi bagian yang penting
dalam kepemimpinan, dengan tujuan memberikan kesan “perkasa” dan “agung” atas jati
diri pemimpin.
2.
Social Theory
Social theory merupakan teori yang sejalan dengan pandangan kedua, bahwa seorang
pemimpin itu menjadi pemimpin melalui pembentukan dengan proses tertentu.
Biasanya dalam hal ini ditempuh melaui pendidikan formal, atau non formal yang
dapat membantu seseorang untuk membentuk kemampuan sebagai pemimpin. Dari
proses inilah seseorang menjadi mempunyai kemampuan yang diperlukan untuk
menjadi pemimpin.
Masyarakat sebagai sebuah lingkungan sosial ikut membentuk dan
memotori terbentuknya pemimpin. Seseorang dapat tumbuh menjadi pemimpin dengan
melaui kreativitas dan kontribusi yang diberikan oleh lingkungan sosial secara
simultan. Dimana seseorang dibesarkan dalam sebuah lingkungan yang kondusif,
dengan rangsangan-rangsangan kelompok berupa kerja bersama, memecahkan masalah
bersama, diskusi, berjuang dan bermain bersama, dan motifasi yang diberikan
maka dapat mempermudah seseorang tersebut tumbuh menjadi pemimpin. Suatu
lingkungan sosial yang memberikan keleluasaan anak untuk selalu mencari tahu,
memperlakukan benda-benda sebagai eksperimen, mengeksplorasi lingkungan alam
dsb, telah memberikan peluang sosial untuk anak berkembang dengan kepeloporan
sesuai dengan pilihannya.
Pada situasi lain, suatu masyarakat yang selalu protektif dan
penuh dengan larangan terhadap anak-anaknya, sehingga anak terkungkung dalam
sebuah kotak mewah dengan segala fasilitas, maka anak dibatasi dalam
perkembangannya. Seolah-olah mereka hanya dapat berkembang dengan pilihan yang
telah dibatasi oleh orang tuanya. Mungkin saja anak dapat mencapai prestasi, tetapi
sesungguhnya prestasi yang dicapai tidak mampu menjawab tuntutan intuitif anak
tersebut dengan memuaskan. Dengan demikian potensi kepemimpinan kurang dapat
dikembangkan secara optimal.
Pendidikan menjadi
sesuatu yang sangat menarik dalam mengantarkan keberhasilan seseorang untuk
tumbuh menjadi pemimpin. Pendidkan yang dimaksud adalah pendidikan formal dan
nonformal. Makna pendidikan sesungguhnya bukan sekedar memberikan pencerahan
dalam bidang pengetahuan, mendidik sebenarnya lebih dari sekedar itu.
Pendidikan berkisar pada proses menuju pribadi yang matang (mature). Untuk itu pendidikan untuk
mengantar pada pembentukan pemimpin hendaknya dilakukan bukan sekedar transfer
pengetahuan, namun juga transfer nilai (value).
Dengan demikian pendidikian membuahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan
disertai kematangan diri, ditandai oleh penerapan nilai-nilai yang baik dalam
sistem tata laku.
3.
Situational Theory
Situational theory disebut
juga dengan enviroment theory atau
teori lingkungan. Berbeda dengan dua teori di atas, teori ini didasarkan pada
munculnya seorang pemimpin yang diilhami oleh kondisi tertentu. Suatu situasi
tertentu yang memungkinkan seseorang muncul sebagai tokoh yang mampu
mengkoordinir pengikut. Pemimpin demikian muncul karena driving force yang bersifat situasional. Biasanya pemimpin ini
sangat kondisional dengan keadaan yang dihadapi, artinya tokoh yang muncul
sebagai pemimpin disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan situasi pada waktu itu.
Sebagai contoh,
misalnya pada situasi yang sangat kacau, tersulut oleh keadaan ini maka
kemudian akan muncul seseorang yang mampu meredakan kekacauan. Kemunculan
seseorang yang mampu memfasilitasi keadaan ini dapat bertolak dari inisiatif
sendiri atau karena dipilih oleh orang-orang disekitarnya. Tetapi secara umum
orang yang muncul sebagai pemimpin karena lingkungan atau situasi tersebut,
pada hakikatnya memang memiliki kemampuan untuk memimpim.
4.
Pendekatan Teori Kepemimpinan
Dalam upaya melaksanakan kepemimpinan yang efektif,
selain memiliki kemampuan dan keterampilan dalam kepemimpinan, seorang pemimpin
sebaiknya menentukan gaya kepemimpinan yang tepat sesuai dengan situasi dan
kondisi anggota kelompok. Banyak studi ilmiah yang dilakukan oleh banyak ahli
mengenai kepemimpinan, dan hasilnya berupa teori-teori tentang kepemimpinan.
Sehingga teori-teori yang muncul menunjukkan perbedaan.
Menurut Kartini Kartono (1994:61)
perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dalam; pendapat dan uraiannya,
metodologinya, intepretasi yang diberikan dan kesimpulan yang ditarik. Menurut
M. Thoha (1994:250) mengungkapkan beberapa teori kepemimpinan yaitu:
a.
Teori Sifat ( Trait Theory)
Pada pendekatan teori
sifat, analisa ilmiah tentang kepemimpinan dimulai dengan memusatkan
perhatiannya pada pemimpin itu sendiri. Yaitu apakah sifat-siftat yang membuat
seseorang itu sebagai pemimpin. Dalam teori sifat, penekanan lebih pada
sifat-sifat umum yang dimilki pemimpin, yaitu sifat-sifat yang dibawa sejak
lahir. Teori ini mendapat kritikan dari aliran perilaku yang menyatakan bahwa
pemimpin dapat dicapai lewat pendidikan dan pengalaman. Sehubungan dengan hal
tersebut , Keith Davis (dalam Kartini Kartono, 1994:251) merumuskan empat sifat
umum yang nampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan efektifitas
kepemimpinan yaitu:
1)
Kecerdasan, hasil penelitian pada umunya
membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang dipimpin.
2)
Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial,
pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai perhatian yang luas terhadap
aktivitas-aktivitas sosial. Dia mempunyai keinginan menghargai dan dihargai.
3)
Motivasi diri dan dorongan berprestasi,
para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk
berprestasi. Mereka bekerja berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsik
dibandingkan dengan ekstrinsik.
4)
Sikap dan hub ungan kemanusiaan,
pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kekuatan para
pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya.
b.
Teori Situasional dan Model Kontingensi.
Dalam model kontingensi
memfokuskan pentingnya situasi dalam menetapkan gaya kepemimpinan yang sesuai
dengan permasalahan yang terjadi. Sehingga model tersebut berdasarkan kepada
situasi untuk efektifitas kepemimpinan. Menurut Fread Fiedler, kepemimpinan
yang berhasil bergantung kepada penerapan gaya kepemimpinan terhadap situasi
tertentu. Sehingga suatu gaya kepemimpinan akan efektif pabila gaya
kepemimpinan tersebut digunakan dalam situasi yang tepat. Sehubungan dengan hal
tersebut Fiedler (dalam Abi Sujak, 1990:10) mengelompokkan gaya kepemimpinan
sebagai berikut:
1)
Gaya kepemipinan yang berorientasi pada
orang (hubungan). Dalam gaya ini pemimpin akan mendapatkan kepuasan apabila
terjadi hubungan yang mapan diantara sesama anggota kelompok dalam suatu
pekerjaan. Pemimpin menekankan hubungan pemimpin degan bwahan atau anggota
sebagai teman sekerja.
2)
Gaya kepemimpinan yang beroreitasi pada
tugas.
Dalam gaya ini pemimpin
akan merasa puas apabila mampu menyelesaikan tugas-tugas yang ada padanya.
Sehingga tidak memperhatikan hubungan yang harmonis dengan bawahan atau
anggota, tetapi lebih berorentasi pada pelaksanaan tugas sebagai prioritas yang
utama.
c.
Teori Jalan Kecil-Tujuan (Paht-Goal
Theory)
Dalam teori Jalan
Kecil-Tujuan berusaha untuk menjelaskan pengaruh perilaku pemimpin terhadap
motivasi, kepuasan, dan pelaksanaan pekerjaan bawahan atau angotanya.
Berdasarkan hal tersebut, House (dalam M. Thoha, 1996:259) dalam Path-Goal
Thery memasukkan empat gaya utama kepemimpinan sebagai berikut:
1)
Kepemimpinan direktif.
Gaya ini menganggap
bawahan tahu senyatanya apa yang diharpkan dari pimpinan dan pengarahan yang
khusus diberikan oleh pimpinan. Dalam model ini tidak ada partisipasi dari
bawahan atau anggota.
2)
Kepemimpinan yang mendukung.
Gaya ini pemimpin
mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati, dan
mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap bawahan atau anggotanya.
3)
Kepemimpinan partisipatif.
Gaya kepemimpinan ini,
pemimpin berusaha meminta dan mempergunakan saran-saran dari para bawahannya.
Namun pengambilan keputusan masih tetap berada padanya.
4)
Kepemimpinan yang berorientasi pada
prestasi.
Gaya kepemimpinan ini
menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para bawahannya untuk berprestasi.
Demikian juga pemimpin memberikan keyakinan kepada mereka mampu melaksnakan
tugas pekerjaan mencapai tujuan secara baik.
5.
Jenis-jenis Kepemimpinan
1.
Kepemimpinan Pemerintahan
Secara
etimologi kata pemerintahan berasal dari
kata ”perintah” mendapat awalan “pe” menjadi “pemerintah” berarti badan
atau organ elit yang melakukan pekerjaan mengurus suatu negara. Mendapat
akhiran “-an” menjadi kata “pemerintahan” berarti perihal, cara, perbuatan atau
urusan dari badan yang berkuasa dan memiliki legitimasi.
Menurut
C.F. Strong (1960) Maksudnya pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan
untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke dalam dan ke luar.
2.
Kepemimpinan swasta
Kepemimpinan
swasta sudah barang tentu bermacam-macam, diantaranya adalah kepemimpinan dalam
administrasi niaga yang berkonotasi dagang, artinya kegiatan yang dilakukan
mereka agar dapat bertahan hidup dalam masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
dalam hidup tersebut. Oleh karena itu kegiatan tersebut bersifat khusus karena
bertujuan untuk mendapatkan uang, sebaliknya pihak lain yang dilayani bersedia
mengeluarkan biaya dengan harapan memperoleh kemudahan, memperoleh kenyamanan
dan kenikmatan.
Menurut
William Marston (Tjipta Lesmana, 2009: 24), kepemimpinan dibagi menjadi 4
jenis, yaitu : Dominance, Influencing,
Steadiness, dan Compliance. Yang
dikenal dengan istilah DISC.
a)
Dominance
Cenderung menguasai situasi, kaya akan
inisiatif, suka tantangan, tidak suka status-quo,
tegas untuk memiliki hasrat mencapai
prestasi tinggi, tidak suka neko-neko, lebih berorientasi pada tugas,
b) Influencing
Gemar berinteraksi sosial,
menghormati sesama, suka dihormati, penuh optimis, rasa humor yang tinggi, dan
pasti minta pendapat orang lain sebelum bertindak.
c) Steadiness
Loyal, suka melayani orang
lain, pencinta damai, rileks namun pekerja keras, bertindak atau berkomunikasi
tidak langsung, jika ia tidak setuju terus terang, namun lambat dalam mengambil
keputusan dan tidak suka konfrontasi.
d) Compliance
Berpedoman pada hukum dan
prosedur dalam bertindak, menghindari konflik, bahkan tidak antusias untuk
membalas jika ditantang. Ia mencari penalaran yang tinggi, selalu mencari fakta dan bukti.
6.
Fungsi-fungsi Kepemimpinan
Dalam upaya mewujudkan kepemimpinan yang efektif,
maka kepemimpinan tersebut harus dijalankan sesuai dengan fungsinya. Sehubungan
dengan hal tersebut, menurut Hadari Nawawi (1995:74), fungsi kepemimpinan
berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok
masing-masing yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada didalam, bukan
berada diluar situasi itu. Pemimpin harus berusaha agar menjadi bagian didalam
situasi sosial kelompok atau organisasinya. Fungsi kepemimpinan menurut Hadari Nawawi
memiliki dua dimensi yaitu:
a)
Dimensi yang berhubungan dengan tingkat
kemampuan mengarahkan dalam tindakan atau aktifitas pemimpin, yang terlihat
pada tanggapan orang-orang yang dipimpinya.
b)
Dimensi yang berkenaan dengan tingkat
dukungan atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksnakan
tugas-tugas pokok kelompok atau organisasi, yang dijabarkan dan
dimanifestasikan melalui keputusan-keputusan dan kebijakan pemimpin.
Sehubungan dengan kedua dimensi tersebut, menurut
Hadari Nawawi, secara operasional dapat dibedakan lima fungsi pokok
kepemimpinan, yaitu:
1)
Fungsi Instruktif.
Pemimpin berfungsi
sebagai komunikator yang menentukan apa (isi perintah), bagaimana (cara
mengerjakan perintah), bilamana (waktu memulai, melaksanakan dan melaporkan
hasilnya), dan dimana (tempat mengerjakan perintah) agar keputusan dapat
diwujudkan secara efektif. Sehingga fungsi orang yang dipimpin hanyalah
melaksanakan perintah.
2)
Fungsi konsultatif.
Pemimpin dapat
menggunakan fungsi konsultatif sebagai komunikasi dua arah. Hal tersebut
digunakan manakala pemimpin dalam usaha menetapkan keputusan yang memerlukan
bahan pertimbangan dan berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya.
3)
Fungsi Partisipasi.
Dalam menjalankan
fungsi partisipasi pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinya,
baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya. Setiap anggota
kelompok memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dlam melaksnakan
kegiatan yang dijabarkan dari tugas-tugas pokok, sesuai dengan posisi
masing-masing.
4)
Fungsi Delegasi
Dalam menjalankan
fungsi delegasi, pemimpin memberikan pelimpahan wewenang membuat atau
menetapkan keputusan. Fungsi delegasi sebenarnya adalah kepercayaan seorang pemimpin
kepada orang yang diberi kepercayaan untuk pelimpahan wewenang dengan
melaksanakannya secara bertanggungjawab. Fungsi pendelegasian ini, harus
diwujudkan karena kemajuan dan perkembangan kelompok tidak mungkin diwujudkan
oleh seorang pemimpin seorang diri.
5)
Fungsi Pengendalian.
Fungsi pengendalian
berasumsi bahwa kepemimpinan yang efektif harus mampu mengatur aktifitas
anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga
memungkinkan tercapainya tujuana bersama secara maksimal. Dalam melaksanakan
fungsi pengendalian, pemimpin dapat mewujudkan melalui kegiatan bimbingan,
pengarahan, koordinasi, dan
pengawasan.
7.
Tipe-tipe Kepemimpinan
1.
Tipe
Otokratik
Dilihat dari
persepsinya seorang pemimpin yang otokratik adalah seorang yang sangat egois.
Seorang pemimpin yang otoriter akan menunjuukkan sikap yang menonjolkan
”keakuannya”, antara lain dalam bentuk:
a)
Kecenderungan memperlakukan para
bawahannya sama dengan alat-alat lain ddalam organisasi, seperti mesin, dan
dengan demikian kurang menghargai harkat dan martabat mereka.
b)
Pengutamaan orientasi terhadap
pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu
dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
c)
Pengabaian peran para bawahan dalam
proses pemgambilan keputusan.
Gaya
kepemimpinan yang dipergunakan adalah:
a)
Menuntut ketaatan penuh dari bawahannya.
b)
Dalam menegakkan disiplin menunjukkan
keakuannya
c)
Bernada keras dalam pemberian perintah
atau instruksi
d)
Menggunakan pendekatan punitif dalam hal
terjaduinya penyimpangn oleh bawahan.
2.
Tipe
Paternalistik
Tipe pemimpin
paternalistik hanya terdapat dilingkungan masyarakat yang bersifat tradisional,
umumnya dimasyarakat agraris. Salah satu ciri utama masyarakat tradisional
ialah rasa hormat yang tinggi yang ditujukan oleh para anggota masyarakat
kepada orang tua atau seseorang yang dituakan. Pemimpin seperti ini kebapakan,
sebagai tauladan atau panutan masyarakat. Biasanya tokoh-tokoh adat, para ulama
dan guru. Pemimpin ini sangat mengembangkan sikap kebersamaan.
3.
Tipe
Kharismatik
Tidak banyak hal yang
dapat disimak dari literatur yang ada tentang kriteria kepemimpinan yang
kharismatik. Memang ada karakteristiknya yang khas yaitu daya tariknya yang
sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya kadang-kadang
sangat besar. Tegasnya seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang
dikagumi oleh banyak pengikut meskipun para pengikut tersebut tidk selalu dapat
menjelaskan secara konkret mengapa orang tersebut dikagumi.
4.
Tipe Laissez
Faire
Pemimpin ini
berpandangan bahwa umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya
karena para anggota organisasi terdiri ari orang-orang yang sudah dewasa yang
mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaransasaran apa yang ingin
dicapai, tugas yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan pemimpin
tidak terlalu sering intervensi.
5.
Tipe
Demokratis
Pemimpin yang
demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan integrator dari
berbagai unsur dan komponen organisasi. Menyadari bahwa mau tidak mau
organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan secara jelas
aneka ragam tugas dan kegiatan yang tidak bisa tidak harus dilakukan demi
tercapainya tujuan. Melihat kecenderungan adanya pembagian peranan sesuai dengan
tingkatnya. Memperlakukan manusia dengan cara yang manusiawi dan menjunjung
harkat dan martabat manusia.
II.
KOMUNIKASI
1.
Defenisi Komunikasi
Kata komunikasi berasal dari kata latin communicare yang mempunyai tiga arti: bergaul dengan seseorang; memberitahukan
sesuatu kepada orang lain; berhubungan dengan orang lain. Dari kata kerja itu
kemudian dibentuk kata benda menjadi communicatio
yang di-Indonesiakan menjadi
komunikasi. Oleh karena itu kata komunikasi berarti pergaulan, pemberitahuan
dan perhubungan (Sutaryo, 2005: 23).
Ada berbagai pendapat para ahli tentang apa itu komunikasi.
Menurut J.L. Araungen, komunikasi adalah pengalihan informasi untuk memperoleh
tanggapan. Semntara itu, Melvin L. De Fleur mendefenisikan komunikasi sebagai
pengkoordinasian makna antara seseorang dengan khalayak. Berbeda lagi dengan
Wilbur Schramm, dia mendefenisikan komunikasi sebagai saling berbagi informasi,
gagasan atau sikap. Roucek dan Warren, sosiolog terkenal berpendapat bahwa communication is the process of transmitting
facts, beliefs, attitudes, emotional reactions, or any
other content of awareness between human beings (Sutaryo, 2005: 43-44). Ada banyak pendapat tentang defenisi
komunikasi dan para ahli, namun hanya dikemukakan beberapa pendapat. Pada intinya
komunikasi adalah penyampaian informasi dari seseorang kepada orang lain dalam
bentuk tanda atau simbol.
2.
Jenis-jenis Teori Komunikasi
Menurut Littlejohn (1996), seperti dikutip Burhan Bungin (2011:
251), berdasarkan metode penjelasan serta cakupan objek pengamatan, secara umum
teori-teori komunikasi dapat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama
disebut kelompok ‘teori-teori umum’ (general
theories), kelompok kedua adalah kelompok ‘teori-teori kontekstual’ (contextual theories).
Ada empat jenis teori dalam kelompok teori- teori umum, namun yang
dimanfaatkan secara efektif dalam kancah-kancah komunikasi, yaitu: (1)
teori-teori fungsional dan struktural; (2) teori behavioral dan cognitive;
(3) teori- teori konvensional dan interaksional; serta (4) teori- teori kritis
dan interpretatif. Sementara itu, kelompok teori-teori kontekstual terdiri dari
teori tentang: (1) komunikasi antarpribadi; (2) komunikasi kelompok; (3)
komunikasi organisasi; dan (4) komunikasi massa. Jenis- jenis teori komunikasi
dapat dijelaskan seperti berikut:
a. Teori- teori umum
1)
Teori- teori fungsional dan
struktural
Ciri dan
jenis teori ini dibangun berdasarkan asumsi dasar teori, yaitu: (1) masyarakat
adalah organisme kehidupan; (2) masyarakat memiliki sub-subsistem kehidupan;
(3) masing-masing subsistem memiliki fungsi yang berbeda; (4) fungsi-fungsi
subsistem saling memberi kontribusi kepada subsistem lainnya; dan (5) setiap
fungsi akan terstruktur dalam masyarakat berdasarkan fungsi masing-masing.
2)
Teori- teori behavioral dan cognitive
Menurut
Sendjaja (2002), seperti dikutip Burhan Bungin (2011: 253), teori- teori behavioral dan cognitive yang berkembang dari psikologi dan ilmu pengetahuan
behavioralis lainnya, cenderung memusatkan pengamatannya pada diri manusia
secara individual. Salah satu konsep pemikirannya yang terkenal adalah tentang
model “S-R” (stimulus-response) yang
menggambarkan proses informasi antar stimulus
(rangsangan) dengan response (tanggapan).
3)
Teori- teori konvensional
dan interaksional
Teori-teori
ini berpandangan bahwa kehidupan sosial merupakan suatu proses interaksi yang
membangun, memelihara serta mengubah kebiasaan-kebiasaan tertentu, termasuk
dalam hal ini bahasa dan simbol-simbol. Komunikasi menurut teori ini dianggap
sebagai alat perekat masyarakat (the glue
of society).
4)
Teori- teori kritis dan
interpretatif
Kelompok
teori ini gagasan-gagasannya banyak berasal dari berbagai tradisi, seperti
sosiologi interpretatif (interpretative
sociology), pemikiran Max Weber, phenomonology
dan hermeneutics, Marxisme dan
aliran Frankfurt School serta berbagai pendekatan tekstual, seperti teori-teori
retorika, biblical, dan
kesusasatraan. Teori ini kemudian melahirkan teori dan pendekatan baru dalam komunikasi
seperti sosiologi komunikasi, hukum komunikasi dan hukum media, komunikasi
antar budaya, komunikasi politik, komunikasi organisasi, komunikasi publik, semiotika
komunikasi, public
relation, dan sebagainya. Teori-teori ini memiliki dua karakteristik umum. Pertama, penekanan terhadap peran
subjektivitas yang didasarkan pada pengalaman individual. Kedua, makna atau meaning
merupakan konsep kunci dalam teori ini. Pengalaman dipandang sebagai meaning centered atau dasar pemahaman
makna. Dalam hal ini bahasa menjadi konsep sentral karena bahasa dipandang
sebagai kekuatan yang mengemudikan pengalaman manusia.
b. Teori- teori kontekstual
1)
Komunikasi intra pribadi (intra-personal communication)
Intra-personal communication adalah
proses komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang. Yang jadi pusat perhatian
adalah bagaimana jalannya proses pengolahan informasi yang dialami seseorang
melalui sistem syaraf dan indranya. Teori ini umumnya membahas mengenai proses
pemahaman, ingatan, dan interpretasi terhadap simbol-simbol yang ditangkap
melalui pancaindra.
2)
Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication)
Interpersonal communication adalah
komunikasi antar perorangan dan bersifat pribadi, baik yang terjadi secara
langsung (tanpa medium) ataupun tidak langsung (melalui medium).
Kegiatan-kegiatan seperti percakapan melalui telepon, surat menyurat pribadi
merupakan contohnya. Teori-teori antarpribadi umumnya memfokuskan pengamatannya
pada bentuk-bentuk dan sifat hubungan (relationship),
percakapan (discourse), interkasi, dan karakteristik komunikasi.
3)
Komunikasi kelompok (group communication)
Group communication memfokuskan
pembahasannya pada interaksi antara orang-orang dalam kelompok-kelompok kecil.
Komunikasi kelompok juga melibatkan komunikasi antarpribadi. Teori ini antara
lain membahas tentang dinamika kelompok, efisiensi dan efektivitas penyampaian
informasi dalam kelompok, pola dan bentuk informasi, serta pembuatan keputusan.
4)
Komunikasi organisasi (organizational communication)
Organizational communication menunjuk
kepada pola dan bentuk komunikasi yang terjadi dalam konteks dan jaringan
organisasi. Komunikasi organisasi melibatkan bentuk-bentuk komunikasi formal
dan informal, serta bentuk-bentuk komunikasi antarpribadi dan komunikasi
kelompok. Pembahasan teori ini antar lain menyangkut struktur dan fungsi
organisasi, hubngan antarmanusia, komunikasi dan proses pengorganisasian, serta
kebudayaan organisasi
5)
Komunikasi massa (mass communication)
Mass communication adalah
komunikasi melalui media massa yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang
besar. Proses komunikasi massa melibatkan aspek-aspek komunikasi intra-pribadi,
komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, dan komunikas organisasi. Teori
ini umumnya memfokuskan perhatiannya pada hal-hal menyangkut struktur media,
hubungan media dengan masyarakat, hubungan antar media dan khalayak,
aspek-aspek budaya dari komunikasi massa, serta dampak atau hasil komunikasi
massa terhadap individu.
3.
Model dan Proses Komunikasi
1)
Model Komunikasi
Stewart L.
Tubbs dan Sylvia Moss, seperti dikutip Burhan Bungin (2011: 257-258),
menjelaskan 3 model komunikasi:
Pertama, model komunikasi
linier, yaitu model komunikasi satu arah (one-way
view of communication). Dimana komunikator memberikan suatu stimulus dan
komunikan memberikan respons atau tanggapan yang diharapkan, tanpa mengadakan
seleksi dan interpretasi. Seperti teori jarum hipodermik (hipodermic needle theory), asumsi-asumsi teori ini yaitu ketika
seseorang mempersuasi orang lain, maka ia “menyuntikkan satu ampul” persuasi
kepada orang lain itu, sehingga orang lain tersebut melakukan apa yang ia
kehendaki.
Kedua, model komunikasi dua arah
adalah model komunikasi interaksional, merupakan kelanjutan dari pendekatan
linier. Pada model ini, terjadi komunikasi umpan balik (feedback) gagasan. Ada pengirim (sender) yang mengirimkan informasi dan ada penerima (receiver) yang melakukan seleksi,
interpretasi dan respon balik terhadap pesan dari pengirim (sender). Dengan demikian komunikasi ini
berlangsung dalam proses dua arah (two-way)
maupun prses peredaran atau perputaran arah (cylical process), sedangkan setiap partisipan memiliki peran ganda,
dimana pada satu waktu bertindak sebagai sender,
sedangkan pada waktu lain bertindak sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya.
Ketiga, model komunikasi
transaksional, yaitu komunikasi hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan (relationship) diantara dua orang atau
lebih. Proses komunikasi ini menekankan semua perilaku adalah komunikatif dan
masing-masing pihak yang terlibat dalam komunikasi konten pesan yang dibawanya
dan saling bertukar dalam transaksi.
2)
Proses Komunikasi
Menurut
Sendjaja dkk (2002) seperti dikutip Burhan Bungin (2011: 258), dalam tataran
teoretis, paling tidak kita mengenal atau memahami komunikasi dari dua
perspektif, yaitu perspektif kognitif dan perilaku. Komunikasi menurut Colin
Cherry, yang mewakili perspektif kognitif adalah penggunaan lambang-lambang (symbols) untuk mencapai kesamaan makna
atau berbagi informasi tentang satu objek atau kejadian. Informasi adalah
sesuatu (fakta, opini, gagasan) dari satu partisipan kepada partisipan lain
melalui penggunaan kata-kata atau lambang lainnya. Jika pesan yang disampaikan
diterima secara akurat, receiver akan
memiliki informasi yang sama seperti dimiliki sender, oleh karena itu tindak komunikasi telah terjadi.
4.
Jenis-jenis Komunikasi Sosial
Menurut
Hendropuspito (Sutaryo, 2005: 24-25), komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa jenis menurut sudut pandang tertentu. Berikut ini adalah pandangan
tentang jenis-jenis komunikasi sosial.
1)
Komunikasi langsung dan
tidak langsung
Komunikasi langsung (direct
communication) juga disebut komunkasi dari muka ke muka (face to face). Si pengirim pesan
berhubungan langsung dengan penerima, tanpa perantara. Bentuk komunikasi inilah
yang paling sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Tanggapan dari si
penerima langsung dapat diketahui si pemberi pesan. Komunikasi jenis ini
menciptakan suasana tersendiri, akrab dan saling percaya.
Komunikasi tidak langsung (indirecht
communication) terjadi apabila dalam berkomunikasi dipakai satu atau lebih
perantara untuk menghubungkan komunikator dengan komunikan. Jenis komunikasi
ini digunakan karena berbagai pertimbangan, antara lain karena jarak dan karena
sifat pesan itu sendiri dirasa kurang sesuai jika disampaikan secara pribadi oleh
pengirim atau karena dua pihak yang bermusuhan harus didamaikan.
2)
Komunikasi satu arah dan
komunikasi timbal balik
Komunikasi satu arah (one-way
communication) terjadi apabila penyampaian pesan itu datang dari satu arah,
jadi tidak mungkin ada tanggapan langsung dari penerima, misalnya perintah
harian ketentaraan, siaran radio, televisi. Bentuk komunikasi ini menciptakan
hubungan yang kaku, karena tidak mungkin ada tanggapan langsung.
Komunikasi timbal balik (reciprocal
communication) terjadi jika pihak penerima pesan dapat memberikan jawaban
langsung kepada pemberi, misalkan pembicaraan lewat telepon, musyawarah. Bentuk
komunikasi ini dapat mempererat hubungan dan menjalin hubungan persaudaraan.
Kedua belah pihak sama-sama aktif.
3)
Komunikasi bebas dan
komunikasi fungsional
Komunikasi bebas (nonorganik)tidak terikat pada formalitas
tertentu yang harus ditaati. Satu-satunya ikatan ialah kode sosio-kultural pada
umumnya, misalnya komunikasi dalam pergaulan biasa dimana dua belah pihak
diharapkan mengenal aturan sopan santun.
Komunikasi fungsional (institusional)
terikat pada peraturan institusi yang bersangkutan. Komunikasi ini bersifat
fungsional dan struktural, misalnya pejabat pemerintahan terhadap bawahannya,
panglima dengan anak buahnya. Penyampaian pesan dilakukan menurut formalitas
tertentu, seperti protokoler, sekretaris pribadi.
4)
Komunikasi individual dan
dan komunikasi massal
Komunikasi individual (individualcommunication)
ditujukan kepada satu orang atau beberapa orang yang sudah dikenal. Pihak
komunikan bukan anonim, tapi orang yang dikenal baik oleh pihak komunikator.
Hasil komunikasi ini mempunyai bobot tersendiri.
Komunikasi massal (mass
communication atau general
communication) ditujukan kepada umum yang tidak dikenal. Pihak komunikan
terdiri dari massa dengan berbagai sosio-kultural, ras dan usia.
5.
Faktor-faktor penghambat dalam Komunikasi
1)
Hambatan sosiologis
Seorang
sosiolog jerman bernama Ferdinand Tonnies mengklasifikasikan kehidupan
masyarakat menjadi dua jenis yang ia namakan Gemeinschaft dan gesellschaft.
Gemeinschaft adalah pergaulan hidup yang bersifat pribadi, statis, dan
rasional, seperti dalam kehidupan rumah tanngga; sedangkan gesellschaft adalah
pergaulan hidup yang bersifat pribadi, dinamis, dan rasional, seperti pergaulan
di kantor atau dalam organisasi.
Karena dalam kehidupan masyarakat itu terbagi
atas berbagai gologan dan lapisan, menimbulkan perbedaan status social, agama,
ideologi, tingkat pendidikan, tingkat kekayaan, dan sebagainya, semua itu
menjadi hambatan dalam berkomunikasi dan inilah yang termaksud dalam hambatan
sosiologis.
2) Hambatan
antropologis
Manusia,
meskipun satu sama lain sama dalam jenisnya sebagai makhluk “homo sapiens”,
tetapi ditakdirkan berbeda dalam banyak hal. Dalam komunikasi misalnya,
komunikator dalam melancarkan komunikasinya dia akan berhasil apabila dia
mengenal siapa komunikan dalam arti ‘siapa’ disini adalah bukan soal nama,
melainkan ras, bangsa, atau suku apa si komunikan tersebut. Dengan mengenal
dirinya, akan mengenal pula kebudayaannya, gaya hidup dan norma kehidupannya,
kebiasaan dan bahasanya.
Perlu
kita ketahui komunikasi berjalan lancar jika suatu pesan yang disampaikan
komunikator diterima olehg komunikan secara tuntas, yaitu diterima dalam
pengertian received atau secara inderawi, dan dalam pengertian accepted atau
rohani. Teknologi komunikasi tanpa dukungan kebudayaan tidak akan berfungsi.
3) Hambatan
psikologis
Faktor
psikologis sering menjadi hambatan dalam berkomunikasi. Hal ini umunnya
disebabkan sikomunikator dalam melancarkan komunikasinya tidak terlebih dahulu
mengkaji si komunikan. Komunikasi sulit untuk berhasil apabila komunikan sedang
sedih, bingung, marah, merasa kecewa, merasa iri hati, dan kondisi psikologi
lainnya; juga jika komunikasi menaruh prasangka kepada komunikator.
Prasangka
merupakan salah satu hambatan berat bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang
berprasangka belum apa-apa sudah bersikap menentang komunikator. Apalagi kalau
prasangka itu sudah berakar, seseorang tidak lagi berpikir objektif, dan apa
saja yang dilihat atau didengarnya selalu dinilai negatif. Prasangka sebagai
factor psikologis dapat disebabkan oleh aspek antropologisdan sosiologis; dapat
terjadi terhadap ras, bangsa suku bangsa, agama, partai politik, kelompok dan
apa saja yang bagi seseorang merupakan suatu perangsang disebabkan dalam
pengalamannya pernah diberi kesan tidak enak. Berkenaan dengan factor-faktor
penghambat komunikasi yang bersifat sosiologis-antropologis-psikologis itu
menjadi permasalahan ialah bagaimana upaya kita mengatasinya. Cara mengatasinya
ialah mengenal diri komunikan dengan mengkaji kondisi psikologinya sebelum
komunikasi terjadi, dan bersikap empatik kepada komunikan.
4) Hambatan
semantic
Kalau
hambatan sosiologis-antropologis-psikologis terdapat pada pihak komunikan, maka
hambatan semantis terdapat pada komunikator. Factor semantis menyangkut bahasa
yang dipergunakan komunikator sebagai alat untuk menyalurkan pikiran dan
perasaannya kepada komunikan. Agar proses komunikasi itu berjalan dengan baik
seorang komunikator hareus benar-benar memperhatikan gangguan semantis ini,
sebab salah mengucap atau salah tulis dapat menimbulkan salah pengertian atau
salah tafsir, yang pada gilirannya bisa ,menimbulkan salah komunikasi. Gangguan
semantis juga kadang-kadang disebabkan oleh aspek antropologis, yakni kata-kata
yang sama bunyi dan tulisannya, tetapi memiliki makna yang berbeda. Salah
komunikasi ada kalanya disebabkan oleh pemilihan kata yang tidak tepat, dalam
komunikasi hendaknya menggunakan kata-kata yang dapat dimengeri atau yang
denotatif.
Jadi
untuk menghilangkan hambatan semantis dalam komunikasi, seorang komunikator
harus mengucapakan pertanyaan yang jelas dan tegas, memilih kata-kata yang
tidak menimbulkan persepsi yang salah, dan disususn dalam kalimat-kalimat yang
dapat dimengerti.
5) Hambatan
mekanis
Hambatan
mekanis dijumpai pada media yang dipergunakan dalam melancarkan komunikasi.
Contohnya: suara telepon yang kurang jelas, berita surat kabar yang sulit
dicari sambungan kolomnya, gambar yang kurang jelas pada pesawat televise dan
lain-lain. Hambatan pada beberapa media tidak mungkin diatasi oleh komunikator
tapi biasanya memerlukan orang-orang yang ahli di bidang tersebut misalnya
teknisi.
6) Hambatan
Ekologis
Hambatan ekologis terjadi
oleh gangguan lingkungan terhadap proses berlangsungnya komunikasi. Contohnya
adalah suara riuh (bising) orang-orang atau lalu lintas, suara hujan atau
petir, suara pesawat terbang dan lain-lain. Untuk menghindari hambatan ini,
komunkator harus mengusahakan tempat komunikasi yang bebas dari gangguan
seperti yang telah disebutkan tadi.
III.
MEDIA MASSA
1.
Apa itu Media Massa?
Kata media massa berasal dari medium dan massa, kata "medium"
berasal dari bahasa latin yang menunjukkan adanya berbagai sarana atau saluran
yang diterapkan untuk mengkomunikasikan ide, gambaran, perasaan dan yang pada
pokoknya semua sarana aktivitas mental manusia, kata "massa" yang
berasal dari daerah Anglosaxon berarti instrumen atau alat yang pada hakikatnya
terarah kepada semua saja yang mempunyai sifat massif. Tugasnya adalah sesuai
dengan sirkulasi dari berbagai pesan atau berita, menyajikan suatu tipe baru
dari komunikasi yang sesuai dengan kebutuhan fundamental dari masyarakat dewasa ini.
Media massa merupakan suatu penemuan teknologi yang luar biasa, yang
memungkinkan orang untuk mengadakan komunikasi bukan saja dengan komunikan yang
mungkin tidak pernah akan dilihat akan tetapi juga dengan generasi yang akan
datang. Dengan demikian maka media massa dapat mengatasi hambatan berupa
pembatasan yang diadakan oleh waktu, tempat dan kondisi geografis.
Penggunaan media massa karenanya memungkinkan komunikasi dengan jumlah orang
yang lebih banyak.
Menurut Uchjana Effendy (1989) seperti dikutip Sutaryo (2005:
289), media massa adalah media komunikasi yang mampu menimbulkan keserempakan,
dalam arti khalayak dalam jumlah yang relatif sangat banyak secara
bersama-sama, pada saat yang sama memperhatikan pesan yang dikomunikasikan melalui
media tersebut, misalnya surat kabar, radio, televisi, dan film yang
ditayangkan di bioskop.
Sementara itu Alo Liliweri (1992) berpendapat bahwa, media massa
merupakan sifat. Instrumen komunikasi massa telah memberikan peluang kepada
kita untuk merekam, mentransmisi pelbagai pengalaman dan informasi secara cepat
dan meluas untuk mencapai suatu khalayak yang heterogen. Komunikasi massa,
melalui medianya membantu kita berhubungan dengan khalayak. Media merupakan
jembatan yang mengatasi hubungan antara komunikator dengan komunikan yang
melintasi jarak, waktu bahkan batas-batas pelapisan sosial suatu masyarakat
(Sutaryo, 2005: 290).
Sedangkan menurut Burhan Bungin (2011: 85), media massa adalah
institusi yang berperan sebagai agent of
change, yaitu sebagai institusi pelopor perubahan. Ini adalah paradigma
utama media massa.
2.
Peran Media Massa bagi Masyarakat
Media massa
dalam menjalankan paradigmanya berperan sebagai:
1)
Sebagai institusi pencerahan
masyarakat, yaitu perannya sebagai media edukasi. Media massa menjadi media
yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikirannya, dan
menjadi masyarakat yang maju.
2)
Selain itu, media massa juga
menjadi meia informasi, yaitu media yang setiap saat menyampaikan informasi
kepada masyarakat. Dengan informasi yang terbuka, jujur dan benar disampaikan
media massa kepada masyarakat, maka masyarakat akan menjadi kaya dengan
informasi, masyarakat yang terbuka dengan informasi, sebaliknya pula masyarakat
akan menjadi masyarakat informatif, masyarakat yang dapat menyampaikan
informasi dengan jujur kepada medi massa. Selain itu, informasi yang banyak
dimiliki oleh masyarakat, menjadikan masyarakat sebagai masyarakat dunia yang
dapat berpartispasi dengan berbagai kemampuannya.
3)
Terakhir media massa sebagai
hiburan. Sebagai agent of change,
media massa juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat
menjadi corong kebudayaan, katalisator perkembangan budaya. Sebagai agent of change yang dimaksud adalah
juga mendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi manusia bermoral
dan masyarakat sakinah, dengan demikian media massa juga berperan untuk
mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak peradaban manusia dan
masyarakatnya.
Subiakto (2006) mengatakan, secara lebih spesifik, peran media
massa saat ini lebih menyentuh
persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat secara aktual, seperti:
a)
Harus lebih spesifik dan
proporsional dalam melihat sebuah persoalan sehingga mampu menjadi media
edukasi dan media informasi sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.
b)
Dalam memotret realitas,
media massa harus fokus pada realitas masyarakat, bukan pada potret kekuasaan
yang ada pada masyarakat itu, sehingga informasi tidak menjadi propaganda
kekuasaan, potret figur kekuasaan.
c)
Sebagai lembaga edukasi,
media massa harus dapat memilah kepentingan pencerahan dengan kepentingan media
massa sebagai lembaga produksi, sehingga kasus-kasus pengaburan berita dan
iklan tidak harus terjadi dan merugikan masyarakat.
d)
Media massa juga harus
menjadi early warning system, hal ini
terkait dengan peran media masa sebagai media informasi, dimana lingkungan saat
ini mejadi sumber ancaman. Media massa menjadi sebuah sistem dalam sistem besar
peringatan terhadap ancaman lingkungan, bukan hanya menginformasikan informasi
setelah terjadi bahaya dari lingkungan itu.
e)
Dalam hal menghadapi ancaman
masyarakat yang lebih besar seperti terorisme, seharusnya media massa lebih
banyak menyoroti aspek fundamental pada terorisme seperti mengapa terorisme itu
terjadi, bukan hanya pada aksi-aksi terorisme (Burhan Bungin, 2011: 86-87).
3.
Peranan Media dalam Pembangunan
Menurut Crawford peranan media massa dalam pembangunan tidaklah independen
sifatnya melainkan terbatas sebagai pemicu pembangunan bila faktor-faktor lain
terdapat secara memadai. Hal ini menunjukkan komunikasi saja bukanlah suatu
kondisi yang memadai bagi pembangunan akan tetapi kurangnya atau kegagalan
komunikasi dapat saja menghambat pembangunan. Jadi komunikasi sendirian saja
tidak akan menghasilkan pembangunan secara optimal (Depdikbud, 1997: 4)
Selain memiliki fungsi-fungsi tersebut media massa juga dapat melakukan
hal-hal lain yang dapat berperan dalam melayani tugas-tugas pembangunan antara
lain :
a)
Media massa dapat memperluas cakrawala
pemikiran
Banyak orang yang hidup
dalam masyarakat tradisional menganggap seolah-olah media massa memiliki
kekuatan gaib pada waktu pertama kali mengenal media massa. Seorang tokoh
Afrika mengatakan bahwa media memiliki kekuatan gaib, karena media mampu
membawa seseorang ke puncak bukit yang tinggi tanpa melintasi cakrawala. Media
memiliki kekuatan gaib karena kemampuannya membuat orang melihat dan mengetahui
tempat-tempat yang belum pernah dikunjunginya serta mengenai orang-orang yang
belum pernah ditemuinya. Dengan demikian media mampu memperdekat jarak yang
jauh serta memperjelas hal-hal yang kabur dan menjembatani peralihan antara
masyarakat tradisional ke arah masyarakat modern.
b)
Media massa dapat memusatkan perhatian
Dalam masyarakat modern,
gambaran kita tentang lingkungan yang jauh, kita peroleh dari media. Masyarakat
tradisional yang bergerak ke arah modernisasi juga mulai menggantungkan
pengetahuannya pada media massa. Akibatnya pemikiran-pemikiran tentang apa yang
penting, berbahaya, menarik dan sebagainya umumnya berasal dari media massa.
Surat kabar, radio dan TV yang berperan sebagai pengawas di berbagai tempat
harus memutuskan apa yang tepat untuk disiarkan.
c)
Media massa mampu menumbuhkan aspirasi
Media massa mampu
menumbuhkan aspirasi sebagaimana dinyatakan oleh Daniel Lerner ketika radio
Kairo menjangkau desa-desa terpencil melalui aspirasi pribadi yang ditumbuhkan
hampir seluruh ide dapat diwujudkan karena didukung masyarakat. Suatu
kebijaksanaan baru akan menuntut persesuaian antara apa yang diinginkan
masyarakat dengan apa yang mereka peroleh. Tanpa aspirasi yang meningkat tanpa
merangsang masyarakat bekerja untuk hidup yang lebih baik akan bekerja sulit
sekali mewujudkan pembangunan.
d)
Media massa mampu menciptakan suasana
membangun
Kita dapat menyimpulkan
bahwa melalui peranan media menyebar di luar kelas sebagai alat pendidikan. Di
tempat dimana sekolah dan guru langka jumlahnya, media telah membuktikan
kemampuannya memikul sebagian besar tugas pendidikan terutama di bidang
pendidikan orang-orang dewasa serta pemberantasan buta huruf. Media massa
merupakan alat komunikasi yang dapat berfungsi untuk memotivasi
perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Karenanya dengan penyampaian
informasi, gagasan, inovasi dan pendapat, media massa berusaha memberi motivasi
kepada komunikan sehingga terjadi perubahan diri. Untuk itu media massa
hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut;
1)
Pesan atau ajakan yang
disampaikan harus dapat menimbulkan perasaan tertentu pada masyarakat
2)
Pesan atau ajakan itu hendaknya berisi
lambang-lambang atau tanda-tanda komunikasi sesuai dengan daya tangkap,
daya serap dan daya nilai sebagian besar masyarakat terutama golongan
masyarakat yang dituju
3)
Pesan atau ajakan itu membangkitkan
kebutuhan dan keinginan tertentu pada sasaran dan kemudian menyarankan upaya
untuk pemenuhan harapan masyarakat;
4)
Pesan itu membangkitkan harapan komunikan.
Dengan demikian
pesan yang disampaikan
kepada komunikan dapat memberikan motivasi untuk berpartisipasi atau untuk
mengubah diri.
Dalam kaitannya secara
khusus dengan lingkungan, berdasarkan
makalah Koesnadi Hardjasoemantri yang berjudul “Peranan Hukum Lingkungan Dalam
Tatanan Masa Depan Indonesia", media massa merupakan salah satu pendukung
lingkungan dalam meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat. Peranan media
massa sendiri adalah sebagai sarana sosialisasi peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan lingkungan hidup dengan tujuan agar masyarakat memahami
hak dan kewajibannya Bentuk sosialisasinya adalah dengan mengadakan rubrik
berkala untuk media cetak, misalnya setiap bulan, tentang peraturan lingkungan
hidup, maupun media elektronikanya, termasuk radio, melalui acara berkala,
misalnya setiap bulan, tentang peraturan lingkungan hidup.
Pustaka
Acuan
Athen,
“Faktor-faktor penunjang dan penghambat dalam Komunikasi”, 3 Maret 2011, http://
athenlengkong.blogspot.com/2011/03/faktor-faktor-penunjang-dan-penghambat.html, diakses tanggal 10 oktober 2013 pukul
20.48
Bungin,
H.M. Burhan, Sosiologi Komunikasi: Teori,
Paradigma, dan Diskursus Teknogi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana
2011
Depari, Eduard dkk, Peranan
Komunikasi Massa Dalam Pembangunan. Suatu Kumpulan Karangan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press 1978
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan DIY, Peranan Media Massa Lokal Bagi Pembinaan dan
Pengembangan Kebudayaan Daerah 1997
Kartono,
Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1994
Lesmana, Tjipta, Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi
Politik para Penguasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2009
Nawawi, Hadari, Kepemimpinan yang Efektif,
Yogyakarta: Gajah Mada Unisity Press 1995
Sulistiyani,
Ambar Teguh, Kepemimpinan Profesional:
Pendekatan Leadership Game, Yogyakarta: Gava Media 2008
Sutaryo,
Sosiologi Komunikasi, Yogyakarta:
Arti Bumi Intaran 2005
Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi, Jakarta: PT.
Raja Erfindo Persada 1996
Winardi,
Kepemimpinan dalam Manajemen,
Jakarta: Rineka Cipta 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar